BerandaTradisinesia
Minggu, 22 Okt 2022 13:15

Kampung Kauman: Kampungnya Para Ahli Agama

Kampung Kauman Solo atau disebut juga Kampung Batik Kauman merupakan perkampungan tertua di Solo yang memadukan kejayaan bisnis batik dan syiar agama Islam. (Pesona.travel)

Kampung Kauman di mana pun tempatnya dikenal sebagai tempat bermukimnya para ulama, guru mengaji, santri, dan ahli agama Islam. Hal itu nggak terlepas dari sejarah berdirinya Kampung Kauman di Solo dan Yogyakarta.

Inibaru.id - Kita sering mendengar nama Kampung Kauman di banyak kota. Di Jawa Tengah, kamu bisa menjumpai Kampung Kauman di Purwokerto, Pekalongan, Pemalang, Jepara, Pati, Wonosobo, Kudus, Boyolali, Klaten, Semarang, dan Salatiga. Sementara di Jawa Timur, Kauman ada di Pasuruhan, Bojonegoro, Jombang, Magetan, Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Gresik, dan Ngawi.

Oya, nggak cuma di Pulau Jawa, rupanya Kampung Kauman juga ada di Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat, lo.

Kauman merupakan kampung atau kompleks perumahan yang terletak dalam wilayah keraton. Biasanya kompleks ini ditinggali para abdi dalem dan ahli agama.

Nama kauman itu diambil dari kata "kaum" yang merujuk pada kalangan agamawan, termasuk penasihat agama sultan, ulama, imam-imam, pengurus masjid, dan santri. Nggak heran jika lokasi Kampung Kauman umumnya berdekatan dengan masjid agung ya, Millens?

Namun, dari semua Kampung Kauman yang tersebar di kota-kota itu, Kampung Kauman di Yogyakarta dan Solo yang memiliki sejarah panjang. Hm, bagaimana ya ceritanya?

Sejarah Kampung Kauman Solo

Salah satu bangunan lama yang ada di Kauman Solo. (Travelingyuk/Eka Novanta)

Mengutip yang dituliskan Kompas (7/7/2022), Kampung Kauman Solo disebut sebagai pekauman tertua karena terbentuk bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta pada 1757.

Ceritanya, dulu Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pakubuwono III membangun masjid agung sebagai pusat dakwah Islam kerajaan. Hal itu dilakukan guna melaksanakan tugasnya sebagai Sayyidina Panatagama Khalifatullah yang artinya raja yang berfungsi memimpin negara sekaligus memimpin agama.

Nah, untuk menjalankan perannya itu, raja mengangkat dan menempatkan penghulu di Keraton Kasunanan Surakarta. FYI, pada masa itu, penghulu merupakan seorang ahli agama yang sekaligus bertugas sebagai penasihat raja.

Raja kemudian memberikan tempat bermukim bagi penghulu di sekitar Masjid Agung Surakarta. Maka dari itu, penghulu memiliki hak membawahi tanah di sekitar masjid agung untuk dihuni para abdi dalem pemethakan dan ulama yang bertugas sebagai pembantu tugas penghulu. Wilayah yang ditinggali penghulu dan para abdi dalem ahli agama itu lalu dikenal dengan nama Pekauman dan kemudian berubah menjadi Kauman.

Kampung Kauman Yogyakarta

Masjid Agung Keraton Kasultanan Yogyakarta atau sering disebut Masjid Gede Kauman dahulu menjadi barometer aktivitas Islam di Yogyakarta. (Corlena.wordpress)

Sama dengan Solo, Kampung Kauman Yogyakarta muncul bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Keraton Kasultanan Yogyakarta pada 1773. Raja Kasultanan Yogyakarta, Hemengkubuwono I membentuk institusi agama yang dipimpin oleh penghulu.

Karena menjadi tempat berkumpulnya para ahli agama, Kampung Kauman Yogyakarta menjadi tempat lahir dan berkembangnya ajaran Muhammadiah yang dibawa oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada 1912.

Di Yogyakarta, Muhammadiyah berkembang pesat. Ajaran Islam yang disampaikan juga turut memengaruhi keagamaan masyarakat Kauman Yogyakarta.

Walau begitu, masyarakat Kauman tetap mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang sudah ada. Mereka nggak menentang upacara ritual Keraton Kesultanan Yogyakarta. Sampai kini, Kauman Yogyakarta masih menjadi pemukiman tradisional Jawa yang dihuni oleh banyak masyarakat santri.

Kalau di kota tempat kamu tinggal ada Kampung Kauman nggak nih, Millens? Kalau ada, bagaimana suasana di sana? Benarkah banyak santri, pengajian-pengajian, dan anak kecil sampai orang dewasa belajar agama? (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024