Inibaru.id - Pekan yang melelahkan bagi Sesil karena dia harus menghadiri dua pesta pernikahan sekaligus dalam dua hari terakhir. Yang membuatnya lelah bukanlah pestanya, tapi keharusan mengenakan dress code yang menurutnya bikin ribet.
"Yang pertama harus pakai busana formal dengan tema serba putih, sedangkan yang kedua agak kasual dengan dress code tematik ala pijama party, padahal acaranya di gedung," keluhnya kepada Inibaru.id, Minggu (6/7/2025).
Namun begitu, bukan berarti Sesil nggak menikmatinya. Justru sebaliknya, dia mengaku nggak pernah absen tiap kali temannya mengadakan pesta tematik, apalagi kalau dress code-nya lucu-lucu. Yang paling menarik, menurutnya adalah saat Halloween tahun lalu.
"Halloween, tapi dress code-nya kostum kartun kesayangan tapi dibikin berdarah-darah. Berasa nonton Pooh (Winnie the Pooh: Blood and Honey) dan film-film absurd Rhys Frake-Waterfield, sih!" seru perempuan asal Bekasi tersebut.
Dress Code sebagai Alat Kontrol
Dari istana Versailles yang megah hingga pesta ulang tahun bertema "pijama party", perlu kamu tahu bahwa aturan berpakaian alias dress code telah melalui perjalanan yang sangat panjang. Sebelum menjadi lucu-lucuan seperti sekarang, ia pernah dimaksudkan sebagai alat kontrol.
Selain itu, dress code juga menjadi simbol kekuasaan yang pada zamannya lebih dari sekadar busana yang seragam, tapi juga merujuk pada status sosial. Pada abad ke-17, penguasa Prancis kala itu menggunakan aturan berpakaian sebagai cara menundukkan bangsawan.
"Aturan mode yang diterapkan Louis XIV (penguasa Prancis kala itu) dirancang untuk membuat kaum bangsawan terlilit hutang," tutur Ciara FitzGerald dalam artikel bertajuk The Quirky Fashion of the Royal Court of Versailles.
Dengan mengharuskan bangsawan memakai pakaian mewah di istana, raja menegaskan bahwa kendali atas tubuh dan tampilan pun merupakan bentuk kekuasaan politik. Ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh ahli hukum Standord, Richard Thompson Ford.
"Selama berabad-abad lamanya, aturan berpakaian telah digunakan untuk mempertahankan peran dan hierarki sosial tertentu," sebutnya.
Menjadi Simbol Keteraturan
Nggak hanya di Prancis, dress code juga berfungsi sama di Inggris. Mereka memiliki "aturan kemewahan" atau Sumptuary Laws, hukum yang membatasi jenis busana yang boleh dikenakan sesuai kelas sosial. Hingga abad ke-19, dress code telah menjadi aturan di sekolah, militer, dan tempat kerja sebagai simbol keteraturan.
Namun, memasuki abad ke-20, revolusi budaya dan hak asasi manusia mulai melonggarkan kekakuan aturan berpakaian. Namun, dalam dunia kerja, dress code masih berperan besar. Menurut Allison Shapira, pengajar komunikasi di Harvard Kennedy School, seragam adalah identitas.
"Cara berpakaianmu akan mengirimkan sinyal yang kuat kepada klien, mitra, dan timmu sendiri. Aturan berpakaian yang konsisten mencerminkan identitas perusahaan," tutur perempuan yang juga dikenal sebagai founder Global Public Speaking tersebut.
Harvard Business Review menyebutkan bahwa meski budaya kerja kini lebih fleksibel, kode berpakaian tetap menjadi bagian dari citra profesional sebuah institusi. Bahkan, di dunia politik dan hukum, pakaian tetap berfungsi sebagai representasi nilai dan otoritas.
Pentingnya Menyesuaikan Dress Code
Nur Baiti yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan event organizer rintisan di Kota Semarang mengungkapkan, dress code itu nggak cuma tentang citra, tapi gimana cara kita berpakaian sesuai dengan konsep akan membuat kita merasa nyaman dan berpikir dengan baik.
"Correct me if I am wrong, tapi aku pernah dengar istilah enclothed cognition; maksudnya adalah bahwa busana yang sesuai konteks akan berdampak pada kondisi mental," tutur sarjana psikologi yang akrab disapa Betty tersebut, Minggu (6/7).
Dikutip dari Verywell Mind, istilah "enclothed cognition" menggambarkan bagaimana pakaian bisa memengaruhi cara berpikir dan merasa. Artinya, mengenakan busana yang sesuai dengan acara akan meningkatkan fokus dan kesiapan emosional
Dengan kata lain, mengenakan pakaian yang sesuai nggak hanya menghormati konteks sosial, tapi juga membantu kita merasa lebih percaya diri dan siap menghadapi situasi tertentu.
Dress Code dan Evolusi Budaya
Dalam budaya populer masa kini, dress code kadang disulap menjadi sesuatu yang ringan, bahkan lucu. Misalnya, pesta bertema "pajamas only" atau "90s kids reunion" yang menjadikan pakaian sebagai bagian dari hiburan.
Media sosial juga turut mendorong lahirnya tren-tren unik berkaitan dengan dress code seperti "twin day" atau "clown time" di kantor. Terlihat absurd? Namun, sekasual apa pun itu, saat kita mengikutinya, dress code tetaplah menjadi simbol etiket dan penghargaan terhadap ruang dan acara yang kita hadiri.
Artinya, dress code itu bukan tentang formal atau kasual, tapi bebas atau seragam. Dari semula menjadi alat kontrol, ia mengalami transformasi budaya dan berevolusi menjadi ekspresi identitas, profesionalisme, hingga bagian dari budaya populer.
Dari berbagai evolusi itu, esensinya tetaplah sama, yakni pakaian adalah bagian dari komunikasi, karena ia akan lebih dulu berbicara sebelum kita sempat melontarkan kata-kata. Menurutmu, dress code apa yang paling menarik untuk kamu kenakan? (Siti Khatijah/E10)
