BerandaPasar Kreatif
Minggu, 29 Okt 2022 18:48

PP Ekraf Belum Bisa Diterapkan di Dunia Seni Rupa

Koalisi Seni menggelar diskusi bertajuk “Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia” di Hotel Grandkemang, Jakarta, Kamis, (27/10/2022) sebagai bagian acara Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-12. (Koalisi Seni)

PP Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif menyatakan pelaku ekonomi kreatif bisa menjadikan produk kekayaan intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank. Tapi, PP itu belum bisa diterapkan di dunia seni rupa karena terusik sejumlah masalah struktural.

Inibaru.id - Pemerintah mempunyai niat baik ingin mengapresiasi setiap karya seni dan melindungi nilai produk seni. Hal itu diwujudkan dengan adanya PP Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif. Dalam PP tersebut dinyatakan pelaku ekonomi kreatif bisa menjadikan produk kekayaan intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank.

Sayangnya, implementasi hal itu masih terusik sejumlah masalah struktural. Misalnya, tata kelola hak cipta serta akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan KI sebagai jaminan utang.

Di dunia seni rupa misalnya, belum ada kondisi yang ideal untuk mewujudkan hal itu. Perupa FX Harsono mencontohkan harga lukisan di pasar seni rupa umumnya berbeda dengan angka di balai lelang.

“Hal itu menunjukkan harga tidak bisa dijadikan standar. Jadi, bagaimana ini bisa menjadi jaminan fidusia?” kata Harsono dalam diskusi Koalisi Seni bertajuk “Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia” di Hotel Grandkemang, Jakarta, Kamis, (27/10/2022) sebagai bagian acara Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-12.

Harsono menjelaskan, belum ada kriteria dalam merumuskan sebuah karya seni rupa sebagai objek KI. Kriteria ini misalnya, terkait visual seperti teknik pembuatan, warna, atau lainnya.

Sulit Dievaluasi

Harga lukisan di pasar seni rupa umumnya berbeda dengan angka di balai lelang.(Faktualnews/Latif Syaipudin)

Tolok ukur untuk menilai objek seni rupa pun punya tingkat kesulitan dan tantangan berbeda sesuai medianya. Karya seni rupa berbasis digital, misalnya, memerlukan aturan dan kontrak tersendiri karena mudah sekali ditiru, disebarkan, dan diperjualbelikan.

Lain lagi karya instalasi, sukar menentukan orisinalitasnya sebagai elemen valuasi jaminan fidusia ke bank maupun lembaga nonbank. Skema yang belum jelas itu membuat seniman sulit mendaftarkan karyanya sebagai KI.

“Karena pasti seniman akan tanya, KI yang mana? Apa pentingnya mendaftarkan sebuah ciptaan sebagai KI? Karena jika karya seni rupa sudah dibeli orang, itu sudah bukan urusannya si seniman lagi,” ujar Harsono.

Sulit menentukan keorisinalitasan karya instalasi sebagai elemen valuasi jaminan fidusia ke bank dan nonbank. (Beritatagar/Agustina Rasyida)

Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia Maya Sujatmiko sepakat bahwa karya seni rupa sangat sulit dievaluasi. Nggak heran bila pengukuran nilai sebuah karya seni rupa untuk fidusia belum pernah dilakukan di Indonesia sampai saat ini.

“PP Ekraf memang dibikin untuk mendukung pekerja seni. Namun untuk mengimplementasikannya di lapangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” kata dia dalam diskusi yang sama.

Maya menyoroti salah satu persyaratan karya seni untuk jaminan fidusia yaitu mewajibkan si seniman untuk mengantongi sertifikasi. Menurutnya, perihal sertifikasi perlu disosialisasikan lebih lanjut oleh Pemerintah ke seniman. Begitu pula lembaga penjamin fidusia baik bank maupun nonbank, yang belum memahami betul skema karya seni sebagai jaminan fidusia, termasuk valuasi dan tolok ukurnya.

Semoga dengan pengawalan PP Ekraf oleh Koalisi Seni, tujuan pemerintah untuk melindungi kesejahteraan seniman bisa segera terwujud ya, Millens! Kita tunggu saja bagaimana perkembangannya. (Siti Khatijah/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024