BerandaPasar Kreatif
Selasa, 15 Sep 2025 16:35

Fenomena Job-hugging; Bertahan Dalam Lubang saat Badai Datang

Ilustrasi: Sengitnya pasar kerja memunculkan fenomena job-hugging. (AFP/Getty Images via Bloomberg)

Ibarat kelinci yang memilih bertahan di dalam lubang saat badai datang, fenomena job-hugging muncul di tengah ketidakpastian ekonomi dan pasar kerja yang lesu. Strategi apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya?

Inibaru.id - Sudah lebih dari setengah tahun Anugerah (bukan nama sebenarnya) mendengarkan keluhan dari suaminya tiap kali pulang kerja. Banyak yang dikeluhkan, mulai dari rekan kerjanya yang kurang kooperatif dan nggak sevisi hingga gajinya yang nggak juga mengalami peningkatan.

Suaminya bekerja sebagai copy writer di sebuah perusahaan swasta di Kota Semarang. Berdasarkan penuturan Anugerah, sudah berkali-kali dia mendengar suaminya mengatakan pengin resign, tapi nggak pernah terwujud.

"Dia nggak semangat berangkat kerja, tapi sepertinya nggak berani resign. Cari kerja sulit, katanya. Aku sampai bingung kasih saran apa. Padahal, dulu dia gampang saja gonta-ganti pekerjaan kalau ngerasa nggak cocok sama gaji atau orang-orangnya," tutur perempuan berusia 33 tahun ini.

Nggak seperti satu dekade lalu, belakangan ini memang lebih banyak orang seperti suami Anugerah. Meski merasa nggak nyaman dengan pekerjaan atau tempat kerja mereka, sebagian dari mereka memilih mempertahankan posisi itu.

Bukan Loyalitas, tapi Rasa Cemas

Kamu mungkin masih ingat tren "job-hopping” yang mendominasi anak muda pasca-pandemi atau sekitar 2022 lalu. Saat itu, sebagaimana digambarkan Anugerah, banyak pekerja dengan mudahnya berganti pekerjaan demi mengejar gaji atau tempat yang lebih nyaman.

Namun, sepertinya tren itu justru berbalik saat ini. Pasar kerja yang suram, biaya hidup yang meningkat, dan PHK yang terjadi di mana-mana, membuat banyak pekerja, khususnya zilenial, memilih bertahan di tempat kerjanya yang sekarang. Bukan karena loyal, tapi takut kehilangan.

Fenomena yang dikenal sebagai "job-hugging" ini muncul dari rasa cemas dengan ketidakpastian di dunia kerja sehingga membuat membuat terpaksa menempel erat pada pekerjaan yang bisa jadi sebetulnya nggak membuat mereka berkembang.

Laman Forbes (26/8/2025) menyebut, job-hugging muncul sebagai respons alami ketika ancaman lebih terasa nyata daripada peluang. Jennifer Schielke, CEO dan cofounder Summit Group Solutions menyebut fenomena ini sebagai “ilusi loyalitas” semata.

Bukan Kesetiaan, tapi Stagnasi

Menurut penulis Leading for Impact: The CEO’s Guide to Influencing with Integrity itu, job-hugging bukanlah tanda kesetiaan, melainkan stagnasi. Seperti kelinci yang bertahan di dalam lubang saat badai datang, para karyawan memilih mempertahankan posisi mereka sembari menunggu badai berlalu.

“Jika menganggap rendahnya turn-over sebagai kesuksesan, pemimpin bisa melewatkan disengagement senyap yang pada akhirnya memicu eksodus talenta ketika pasar kembali longgar,” katanya.

Schielke menjelaskan bahwa pandemi, gelombang PHK, dan berbaliknya kondisi ekonomi belakangan ini telah menciptakan rasa nggak aman di pasar kerja.

Clinging to what you have seems a logical play for stability and security,” ujarnya, menegaskan bahwa berpegang teguh pada apa yang pekerja miliki tampaknya merupakan langkah logis untuk mencapai stabilitas dan keamanan.

Tanda-Tanda Job-hugging

Ilustrasi: Eksplorasi bidang lain di tempat kerja atau membangun keterampilan kerja yang lain bisa menjadi cara agar kita nggak terjebak dalam fenomena job-hugging. (Monster)

Menurut Schielke, beberapa gejala job-hugging bisa dikenali dari meningkatnya stres hingga memengaruhi suasana tim. Selain itu juga terjadi perubahan performa, yakni karyawan memilih mengerjakan keahliannya alih-alih mendukung prioritas tim secara keseluruhan.

"Ada kesediaan untuk membantu di luar peran inti, tapi tidak benar-benar berkembang di posisinya sendiri, kata dia. "Mereka memilih tetap bertahan meski jelas-jelas bekerja melampaui kapasitasnya karena takut terjun ke pasar kerja yang sedang tidak baik-baik saja."

Schielke mengungkapkan, pekerja tampak baik-baik saja di permukaan, padahal sebenarnya nggak benar-benar puas atau berkembang di posisi tersebut. Menurutnya, ini bukanlah situasi yang menguntungkan dan sebaiknya perusahaan nggak membiarkan situasi ini berlarut-larut.

“Stabilitas bukan berarti engagement,” kata Schielke.

Apa yang Harus Dilakukan

Setali tiga uang, profesor etika bisnis dari University of San Diego, Tara Ceranic Salinas, juga menyarankan agar perusahaan nggak terlena dan menganggap karyawannya baik-baik saja saat mengetahui fenomena tersebut.

“Perusahaan yang benar-benar ingin membangun engagement harus berinvestasi pada budaya dan mengutamakan empati serta kemanusiaan,” ucap Salinas.

Menurutnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan perusahaan, antara lain:

  1. Rutin mengecek kondisi karyawan lewat forum umpan balik yang nyata;
  2. Investasi pada pengembangan: pelatihan, mentoring, jalur karier baru;
  3. Fleksibilitas kerja; mengembalikan opsi jadwal fleksibel atau hybrid yang banyak dicabut;
  4. Pemimpin menjadi teladan yang penuh empati, misalnya dengan berbagi pengalaman dan membuka ruang dialog; dan
  5. Menjelaskan visi perusahaan sehingga karyawan tahu bagaimana cara mereka bisa berkontribusi.

Lalu, apa yang harus dilakukan pekerja yang terjebak dalam job-hugging? Terkait hal ini, Salinas menyarankan agar situasi tersebut dijadikan pekerja sebagai momen evaluasi. Buka lagi peta karier untuk mengetahui posisi kita saat ini dan apa yang pengin dituju untuk menentukan kapan saatnya pindah.

"Bangun keahlian baru lewat kursus, sertifikasi, atau proyek tambahan; cari mentor untuk memberi perspektif jujur; serta eksplorasi bidang lain yang menarik perhatian di lingkungan kerja," sarannya.

Schielke bilang, yang terbaik untuk pekerja pasti baik untuk perusahaan, sementara job-hugging nggak termasuk di dalamnya. Di tengah badai, bertahan di dalam lubang nggak salah, tapi jangan sampai terjebak, ya? Tetap beri ruang untuk keluar alih-alih menggali lubang semakin dalam ya, Gez! (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: