Inibaru.id - Seorang pengunjung berdiri diam di tengah ruang pamer. Jaket biru yang melekat di tubuhnya menjadi kontras dengan latar dinding putih dan hamparan karya yang terpajang. Tatapannya kemudian terhenti pada sebuah instalasi seni yang terdiri atas foto hutan mangrove dengan ranting-ranting di depannya.
Potret hitam-putih berukuran raksasa itu menampilkan rimba mangrove dengan akar-akar yang menjuntai, berkelindan, seolah membentuk labirin kehidupan. Di depannya, ranting-ranting kering ditata di lantai, sebagian ditempeli benda-benda bekas yang sengaja dibiarkan apa adanya.
Pemandangan itu mengingatkan pada lanskap alam yang telah lama akrab dengan manusia, tapi kini kian jauh ditinggalkan sebagai konsekuensi dari modernitas yang mengandalkan industrialisasi dan eksploitasi alam demi pembangunan.
Isu inilah yang diangkat dalam pameran puisi bertajuk “TEKS meRUPA, meRUPAkan TEKS” yang digelar di Rumah Khalwat Balai Budaya Rejosari (RKBBR) Kudus, pekan lalu. Pameran kolaborasi seni rupa dan puisi (puisi rupa) ini digelar oleh tiga seniman lintas disiplin asal Kabupaten Pati.
Mereka adalah perupa Putut Pasopati bersama dua sastrawan Arif Khilwa dan Aloeth Pathi. Dimulai dengan acara inti selama tiga hari mulai Jumat (29/8) hingga Minggu (31/8), pameran masih bisa dinikmati hingga akhir September nanti.
Dialog Kreatif Teks dan Rupa
Konsep pameran puisi rupa ini adalah semacam dialog kreatif antara seni rupa dan teks. Di dalamnya ada karya visual yang hadir sebagai manifestasi dari teks dan sebaliknya, ada teks teks yang hadir sebagai respons atas karya rupa.
Bentuk kolaborasi semacam ini jarang terjadi di kawasan Muria, sehingga menjadi momentum segar bagi dunia seni lokal yang kerap dianggap stagnan oleh para penikmatnya.
Nggak hanya di lantai dan dinding, karya-karya juga ditampilkan di plafon, misalnya anyaman-anyaman berbentuk sarang dan burung yang berbahan daun kelapa kering, batang ilalang, dan jerami yang dirangkai dengan teknik tradisional.
Bentuknya mungkin nggak sempurna, tapi justru di situlah letak pesonanya. Karya-karya itu menggantung, berayun pelan diterpa angin dari sela atap kayu. Ruangan seketika terasa hidup, seakan hutan yang ditampilkan di foto menembus dinding dan menjelma ke dalam ruang pamer.
Karya dari Benda yang Terdampar di Pantai
Di sebuah ruang pamer sederhana ini, Putut Pasopati kembali menghidupkan percakapan lama, berupa hubungan manusia dengan alam, ingatan masa kecil, dan kegelisahan akan perubahan zaman. Bukan lewat kata-kata, melainkan karya instalasi yang dia rakit dari benda-benda terdampar di tepi pantai.
"Ada kayu lapuk, carang tumbuhan yang kering, serta serpih-serpih alam yang kerap luput dari pandangan. Semua ini sebetulnya ingatan,” ujar Putut pelan, seakan takut membangunkan kenangan yang rapuh terkait hal ini.
Karya barunya nggak berdiri sendirian. Dia menyambung benang dengan karya lamanya tentang "mangruf terakhir" yang merupakan sebuah peringatan sunyi tentang ekosistem yang perlahan terkikis. Putut nggak hanya bercerita tentang pohon mangrove yang hilang, tetapi juga benda-benda kecil yang ditinggalkan alam.
Carang dan kayu yang terserak di pantai dirangkainya menjadi penanda, bahwa alam selalu punya jejak yang bisa kita baca apabila mau meluangkan waktu.
Isu Lingkungan dan Nostalgia
Nggak hanya berkaitan dengan isu lingkungan, Putut juga menyelipkan nostalgia dalam benda-benda yang ditampilkan, misalnya alat tradisional yang kini hilang digantikan mesin modern. Dia menyebut gunung sebagai "ani-ani", alat panen sederhana yang dulu dipakai petani tapi kini telah tergantikan oleh pemotong padi.
“Kenapa kita tidak bisa kembali hidup sederhana dengan alat-alat lama? Sebenarnya bisa, kalau kita mau,” kata Putut yang dia dimaksudkan bukan sebagai seruan moral, tapi gumaman seorang seniman yang menolak melupakan akar.
Melalui instalasi ini, Putut Pasopati seolah sedang mengajak penonton merenung: bagaimana manusia menatap perubahan zaman? Apakah dengan kebanggaan atas kecanggihan, atau dengan kegelisahan karena meninggalkan sesuatu yang sebetulnya esensial?
Di antara kayu yang terikat dan carang yang ditata, kita bisa melihat bukan sekadar benda, tapi juga ingatan. Ingatan tentang masa lalu yang sederhana, hubungan manusia dengan tanah dan laut, serta pilihan kita hari ini, apakah ingin terus meninggalkan atau berani kembali belajar dari apa yang pernah ada.
Dibuat secara Mendetail
Apabila didekati lebih dekat, salah satu burung jerami buatan Putut tampak begitu detail. Ikatan-ikatan serabut kering membentuk tubuh kecil, sayap sederhana, dan paruh runcing yang mengarah ke depan. Ia tampak seperti burung dalam penerbangan, beku di udara, tetapi menyimpan energi gerak yang kuat.
Benda sehari-hari yang kerap terabaikan kini menjelma medium seni yang sarat pesan, bahwa alam menyediakan segala sesuatu, bahkan bahasa untuk menyampaikan makna. Karena alasan inilah pameran tersebut pantang untuk dilewatkan.
Selama tiga hari pembukaan, suasana ruang pamer ngak terlalu ramai, tapi justru itu yang menghadirkan kesan intim, memungkinkan setiap pengunjung berdialog dengan tiap karya tanpa tergesa-gesa. Untuk menikmati pameran ini memang perlu kejelian, karena banyak detail yang perlu dilihat menyeluruh.
Berada di sini, kamu akan diajak untuk berpikir ulang tentang hubungan manusia dengan lingkungan, misalnya tentang mangrove yang kerap ditebang, ranting-ranting kering yang tergolek di tanah dan sering dianggap nggak berguna, atau jerami yang mudah terbakar, padahal bisa kembali "hidup" setelah dirangkai.
Bercerita tentang Kesederhanaan
Rakha, salah seorang pengunjung yang tampak cukup lama menjelajahi galeri seni itu mengungkapkan kekagumannya pada karya-karya yang ditampilkan. Meski bahan yang dipakai nggak mahal, hal yang disampaikan sangatlah besar dan penuh makna.
"Material yang dipakai tidak mahal, tetapi justru mengandung gagasan ekologis yang tiada ternilai," tuturnya sebelum mengatakan bahwa menyelamatkan alam bukan hanya soal proyek besar, tapi juga cara kita memberi makna pada benda-benda kecil di sekitar.
Ruang itu kemudian menjadi lebih dari sekadar tempat memamerkan karya Putut Pasopati, tapi berubah menjadi ruang pertemuan antara ingatan, kesadaran, dan harapan. Ingatan akan hutan yang dulu rimbun, kesadaran pada kerusakan yang terjadi, dan harapan untuk belajar dari kesahajaan alam.
Di bawah sorot lampu yang temaram, burung-burung jerami itu berayun pelan, seolah sedang mencari jalan pulang. Dan di hadapan mereka, pengunjung yang berdiri dalam diam pun mungkin sedang mencari hal yang sama: jalan pulang menuju harmoni dengan alam.
Hibrida Rupa dan Sastra
Kesenian awalnya berdiri sendiri, lalu mengalami pertemuan dan terjadi persilangan yang melahirkan bentuk baru layaknya tumbuhan dan hewan yang menghasilkan generasi hibrida. Inilah yang dituliskan perupa Kudus, Indarto, dalam komentar yang dimuat di katalog pameran.
"Kolaborasi semacam ini bukan untuk menonjolkan perbedaan, melainkan menarik benang merah yang mempertautkan semangat kreatif," kata dia.
Indarto menambahkan, apa yang dilakukan trio “APA” ini memiliki akar historis. Dalam seni rupa Indonesia, Sudjojono pernah menambahkan teks pada kanvasnya, sementara Ugo Untoro menghadirkan guratan tulisan sebagai karya visual.
“Semua menunjukkan bahwa batas antara kata dan gambar kerap cair,” katanya.
Sebuah Ruang Eksperimen
Dalam skala nasional, kolaborasi seni rupa dan sastra juga pernah hadir melalui pameran Legenda Sastra Visual, MERUPA KATA, hingga Perempuan (di) Borobudur. Bahkan, jauh ke belakang, relief Borobudur bisa dipandang sebagai visualisasi teks suci Buddha.
Sementara di Barat, adagium klasik ut pictura poesis—“seperti lukisan, demikianlah puisi”—menjadi dasar konseptual pertemuan rupa dan kata. Maka, bagi Indarto, pameran ini bukanlah titik akhir, melainkan sebuah ruang eksperimen.
“Ini adalah ajakan untuk terus mencari, bekerja sama, dan membiarkan seni tumbuh menjadi hibrida yang segar,” pungkasnya.
Seperti kata Indarto, pameran ini bukan sekadar ruang apresiasi seni, melainkan juga ruang perenungan tentang bagaimana manusia menjaga keterhubungan dengan alam dan tradisi. Di tangan Putut Pasopati dan dua kawannya, benda-benda sederhana menjelma bahasa baru yang membuka ingatan kolektif.
Seni Bisa Lahir dari Hal Remeh
Para seniman ini berhasil menghadirkan satu pelajaran penting untuk kita semua, bahwa karya seni bisa lahir dari apa yang tampak remeh, tapi justru di situlah kekuatannya. Dari benda seni itu, pengunjung diajak untuk kembali menoleh pada yang terlupakan tapi penting pada masa lalu.
Lebih jauh, kolaborasi lintas disiplin ini juga menunjukkan bahwa seni nggak pernah berdiri sendiri. Kata-kata dan rupa saling mengisi, melahirkan bentuk hibrida yang menyegarkan. Kekuatan pameran ini terletak pada keberaniannya menantang batas-batas konvensi.
Wilayah yang selama ini jarang terdengar dalam percakapan seni kontemporer nasional rupanya berhasil menyodorkan tawaran segar lewat pertemuan sederhana, tapi penuh makna. Di tengah derasnya arus globalisasi, pameran ini mengingatkan bahwa identitas kultural kita bisa terus diperbarui tanpa kehilangan akarnya.
Ingatan, ekologi, dan kolaborasi menjadi tiga kata kunci yang layak dibawa pulang oleh setiap pengunjung. Seni rupa dan sastra bukan hanya soal estetika, tapi juga keberanian menafsirkan ulang hidup yang kita jalani bersama. Pameran ini adalah cermin bahwa kesederhanaan bisa memunculkan gagasan besar.
Ini sekaligus menjadi ajakan untuk nggak takut bereksperimen, menggali akar lokal, dan terus merawat hubungan dengan alam. Karena dari benda-benda kecil, dari teks yang sederhana, kita bisa menyalakan percakapan besar tentang siapa kita dan ke mana kita ingin melangkah. (Imam Khanafi/E10)
