Inibaru.id – "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda". Peribahasa ini sepertinya cocok dengan cerita lompya duleg, jajanan khas Delanggu, Klaten. Bagaimana nggak, sempat dianggap sebagai produk gagal, kini lompya duleg justru digemari banyak orang.
Dari namanya saja, sudah bisa ditebak jika jajanan ini mirip dengan lumpia, jajanan khas Kota Semarang. Meski begitu, ada perbedaan besar di antara keduanya. Ukuran lompya duleg cukup kecil, yaitu sekitar 5 centimeter. Kulitnya terbuat dari pati onggok yang dicampur dengan tepung terigu. Isiannya bukan rebung, tetapi kecambah.
Cara makan lompya duleg yang nggak krispi sebagaimana lumpia semarang juga berbeda. Penganan yang sudah diberi tambahan potongan bawang merah, bawang putih, dan sedikit kecap manis ini dicocol ke cairan gula jawa. Hm, perpaduan rasa yang menarik, ya?
Sejarah Penemuan Lompya Duleg
Lompya duleg berasal dari Dusun Lemburejo, Desa Gatak, Kecamatan Delanggu. Di sana, kamu bisa menemukan 15 kepala keluarga (KK) yang masih setia memproduksi penganan yang diciptakan oleh Mbah Karto Purno pada 1950-an.
Menurut cerita anggota Paguyuban Lompya Duleg Mugi Langgeng Peri Santoso, saat kali pertama dibuat, lompya duleg dianggap nggak enak karena ada cita rasa asam yang terlalu kuat. Untungnya, Mbah Karto Purno nggak menyerah untuk menyempurnakan penganan tersebut agar bisa diterima lidah masyarakat.
“Mengapa namanya lompya duleg, karena saat disajikan, lompya dicocolkan atau di-‘duleg-duleg’ dengan bambu kecil,” cerita Peri Santoso sebagaimana dilansir dari Radar Solo, Sabtu (3/12/2022).
Peri yang sudah memproduksi penganan ini sejak puluhan tahun yang lalu mengaku bisa memproduksi setidaknya 200 buah lompya duleg. Setelah selesai dibuat, dia pun menjualnya dengan berkeliling sepeda motor sejak pukul 16.30 WIB sampai 21.00 WIB. Dia berjualan di sekitar Delanggu atau ke kecamatan-kecamatan lainnya.
“Selain saya, ada juga yang berkeliling, ada juga yang berjualan di rumahnya. Kalau yang berjualan di rumah biasanya sudah dipesan dari pelanggan di wilayah Klaten, Sukoharjo, dan Boyolali,” lanjutnya.
Pemroduksi lompya duleg lainnya, Mbah Daliyem, bahkan menjualnya dengan cara berjalan kaki ke sekitar.
“Kalau saya jalan kaki, dagangannya digendong. Biasanya mulai keliling pukul 10.00 WIB dan baru pulang setelah habis,” ungkap Mbah Daliyem sebagaimana dikutip dari Klatenkab, (18/12/2020).
Harga lompya duleg nggak mahal kok, Millens. Per bijinya dibanderol Rp1000. Kalau kurang, bisa nambah semau kamu asalkan stoknya masih tersedia, ya? (Arie Widodo/E10)