BerandaKulinary
Jumat, 10 Mar 2022 17:00

Hidangan yang Menjerat Pancaindra di Oud En Nieuw Semarang

Pannenkoek, penganan khas Negeri Kincir Angin yang menjadi salah satu signature dish Oud En Nieuw. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Konon, makanan enak nggak hanya menjerat lidah, tapi seluruh pancaindra, seperti 'perangkap' yang disiapkan Oud En Nieuw ini.

Inibaru.id – Setiap berkunjung ke restoran baru, saya selalu teringat perkataan Philip Rosenthal. Figur dalam film dokumenter Netflix Somebody Feed Phil itu bilang, restoran bagus membuat kita seperti berlibur; nggak semata bicara makanan, tapi juga pengalamannya.

Hal inilah yang membuat saya memilih berlama-lama duduk di Oud En Nieuw sebelum memutuskan apa yang pengin saya pesan di kafe tersebut. Dari salah satu sudut kafe yang ada di kompleks Kota Lama Semarang ini saya bisa melihat sejumlah pengunjung menikmati kopi dan kue, sementara pramusaji dengan setelan kaus kuning dengan apron hitam tengah menyiapkan hidangan.

Menyambangi Oud En Nieuw setelah WFH panjang tentu menjadi hari istimewa untuk saya. Tempat ini sudah saya incar cukup lama. Ia adalah sempalan Toko Oen, restoran legendaris di Kota Semarang yang terletak di Jalan Pemuda.

Laiknya Toko Oen, kafe yang baru berdiri sekitar dua tahun lalu ini juga menyediakan menu-menu lawas yang mengundang nostalgia. Pilihan saya sebetulnya jatuh pada es krim, dessert yang juga disajikan di Toko Oen. Namun, perut saya menolak dan menyarankan makanan berat.

Waktu memang sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB ketika saya selesai menikmati suasana di Oud En Nieuw. Pilihan saya jatuh pada Creamy Beef Carbonara, pasta Italia yang kata pramusaji merupakan salah satu signature dish di kafe yang berlokasi di Jalan Empu Tantular tersebut.

Beginilah tampilan Creamy Beef Carbonara yang saya cicipi di Oud En Nieuw. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Harga seporsi carbonara di sini nggak terlalu berbeda dengan kafe lain di Semarang, yakni Rp 45 ribu saja. Mengeluarkan kocek segitu untuk pasta lembut yang dipadu daging cincang lumayan banyak bagi saya worth-a-try sih. Ehm, saya memberi rating 8,5/10 untuk carbonara tersebut.

Selesai dengan carbonara, sebagai hidangan penutup saya memilih panekuk. Seperti es krim, kue dadar yang di sini dinamai pannenkoek (dari bahasa Belanda) itu juga merupakan menu legendaris di Toko Oen yang mengambil konsep hidangan khas Belanda klasik. Saya memilih Pannenkoek Met Banaan En Nutella.

Pannenkoek Met Banaan En Nutella adalah bahasa Belanda yang kurang lebih artinya "panekuk yang bertemu pisang dan nutella". Asyik ya? Ha-ha.

Seporsi pannenkoek di Oud En Nieuw dibuat agak lebar hingga hampir menutupi piring makan; nggak terlalu tebal, tapi juga nggak setipis leker pinggir jalan. Rasanya cukup manis, tapi nggak bikin enek. Dengan topping pisang dan nutella, plus kacang halus sebagai pemberi tekstur, saya yakin bisa menghabiskan dessert ini sendirian.

Panekuk pisang plus nutella ini lumayan mahal, yakni Rp 45 ribu. Namun, untuk pengalaman pertama menikmati hidangan penutup dari Negeri Kincir Angin di tempat yang telah puluhan tahun menyajikan hidangan itu, saya sama sekali nggak menyesal. Serius!

Poffertjes, kudapan manis mirip kue cubit dari Belanda. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Selesai? Tentu saja tidak! Sebelum ke Oud En Nieuw, generasi ketiga pemilik Toko Oen Megaputri Megaradjasa sempat membeberkan tentang poffertjes kepada saya. Dia mengatakan, kudapan khas Belanda itu telah puluhan tahun menjadi menu andalan di tempatnya.

Yenni, begitu dia biasa disapa, kemudian menyarankan saya untuk mencobanya di Oud En Nieuw. Maka, jadilah saya memesan kue lembut berbentuk bulat yang sekilas mirip kue cubit tersebut. Harganya Rp 25 ribu seporsi.

Memilih poffertjes campur, saya mendapatkan 10 buah kue dengan varian topping meses dan keju parut. Rasanya nggak jauh berbeda dengan pannenkoek, tapi teksturnya lebih lembut dan mudah hancur di mulut.

Seorang pramusaji mengatakan, poffertjes cocok dimakan bersama es krim. Saya pun termakan saran dia, lalu segera berjalan menuju etalase es krim di salah satu sudut di kafe yang menempati bangunan lawas bekas Gedung Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) tersebut.

Sempat bingung menentukan es krim yang saya inginkan dari 16 varian yang disediakan di etalase itu, pilihan saya akhirnya jatuh pada varian Tjendol dan Strawberry Cheesecake. Konon, es krim di sini dibuat dengan mesin tua buatan Italia yang sudah berusia sekitar 80-an tahun, lo, Millens!

Berbagai rasa ice cream yang ditawarkan oleh Oud En Nieuw, salah satunya adalah strawberry cheesecake. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Seperti yang saya cicipi di Toko Oen, tekstur es krim di Oud En Nieuw juga terbilang sangat lembut. Manisnya pun nggak keterlaluan. Pas. Menurut saya, kalau kamu pengin menikmati es krim premium yang nyaman di lidah segala umur, tempat ini bisa menjadi salah satu rujukannya.

Varian Tjendol, seperti namanya, secara keseluruhan dibuat layaknya es cendol atau dawet, salah satu minuman dingin tradisional paling populer di Indonesia. Agar bernuansa cendol, es krim ini diberi repihan kelapa serta dikucuri cairan gula merah dan sirup rasa cendol.

Untuk kamu yang pengin bernostalgia rasa, Tjendol bisa banget menjadi pilihanmu. Namun, kalau mau yang lebih modern, Strawberry Cheesecake agaknya lebih cocok. Rasa stroberi yang manis dan sedikit asam serta cheesecake nan manis-asin begitu menyatu di es krim ini. Yummy!

Namun, poffertjes yang saya pesan agaknya nggak cocok dipadukan dengan es krim. Sedikit saran, kalau pengin memadukannya dengan es krim, lebih baik pilihlah poffertjes plain a.k.a tanpa topping, biar nggak merusak rasa es krimnya.

Puas menikmati semua sajian di kafe bertema hitam putih itu, saya pun kembali melempar pandangan mengitari ruangan sekali lagi. Benar sekali kata Phill, restoran bagus memang seperti berlibur; rasanya nggak pengin cepat-cepat pulang! Ha-ha. (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024