BerandaKulinary
Rabu, 15 Jun 2021 08:00

Bubur Ayam Mang Dede Semarang, Sarapan Murah dengan Porsi Berlimpah

Gerobak bubur ayam Mang Dede yang terletak di Jalan Sompok, Lamper Kidul, Semarang Selatan. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Bubur ayam menjadi menu sarapan yang cocok bagi sebagian orang karena porsinya yang ringan dan harganya yang bersahabat. Namun, di Bubur Ayam Mang Dede Semarang, kamu juga bisa tetap menikmati sarapan dengan porsi berlimpah. Harganya? Tetap nyaman di kantong kok!

Inibaru.id – Senin pagi, saya terpaksa gigit jari dan pulang dengan perut keroncongan karena Bubur Ayam Mang Dede tutup. Sehari sebelumnya, saya juga mengurungkan niat sarapan di salah satu bubur ayam legendaris di Kota Semarang itu karena terlalu ramai dan antreannya mengular panjang sekali.

Niatan tersebut akhirnya kesampaian sehari setelahnya. Ade Ka’un, sang pemilik, baru saja tiba kala itu. Setelah memarkir gerobak buburnya di pinggir jalan, lelaki yang biasa disapa Mang Dede itu segera menata kondimen bubur ayam di tempatnya.

Sementara itu, kedua anaknya, yang tiba lebih dulu, tengah sibuk membersihkan meja dan mengatur kursi untuk pembeli. Sekitar 4-5 meja-kursi diletakkan dengan rapi di bahu jalan, bersebelahan dengan gerobak bubur yang didominasi warna hijau.

Nggak seperti kebanyakan penjual kedai bubur ayam yang buka sejak pagi buta guna menyesuaikan waktu sarapan para pekerja, Dede terbilang terlalu siang membuka kedainya. Perlu kamu tahu, Bubur Ayam Mang Dede baru buka sekitar pukul 08.00 WIB.

"Ya, memang karena selesai meracik dagangannya pukul segitu," tutur Dede ringan saat saya iseng menanyakan alasannya. "Tapi, (bukanya) tidak pernah telat kok!” imbuhnya sembari sibuk meracik topping bubur yang saya pesan.

Para pelanggan Dede biasanya sudah tahu kapan kedai yang berlokasi di Jalan Sompok, Lamper Kidul, Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah, ini beroperasi. Namun, saking larisnya, kedai tersebut biasanya sudah tutup saat jam makan siang tiba atau sekitar pukul 12.00 WIB.

Enam Jenis Topping

Mang Dede sedang menambahkan topping ayam untuk bubur pesanan pelanggan yang dibungkus. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Kalau memesan bubur ayam di Bubur Ayam Mang Dede, kamu biasanya bakal diberi tiga penawaran: porsi satu, setengah, atau seperempat. Oya, porsinya yang cukup berlimpah memang membuat sebagian pelanggan hanya mampu menghabiskan setengah porsi saja, bahkan seperempat.

Seporsi bubur ayam bikinan Mang Dede dibanderol Rp 20 ribu saja, sedangkan untuk porsi setengah Rp 18 ribu. Sementara, porsi seperempat dihargai Rp 16 ribu. Saya pun memilih bubur ayam setengah porsi; yang menurut porsi saya tetap saja banyak! Ha-ha.

Setengah porsi bubur ayam dan segelas teh hangat hari itu cukup mengenyangkan perut saya yang kosong sedari pagi. Ehm, sejujurnya, saya nggak bisa melihat perbedaan porsi satu, setengah, dan seperempat itu. Mungkin bedanya terletak pada kuantitas bubur, tapi toppingnya yang berlimpah menutupi perbedaan ini.

Oya, bubur ayam Mang Dede adalah jenis bubur ayam Bandung, tapi dengan enam macam kondimen, yakni tahu-ati-ampela, kedelai goreng, ayam serundeng, bawang goreng, daun seledri, dan ayam suwir. Laiknya kebanyakan bubur ayam Bandung, bubur ini juga dilengkapi kerupuk udang.

"Topping-nya boleh milih, kok. Kalau ada yang nggak mau pakai kedelai atau daun seledri, nanti kami sesuaikan. Jadi, nggak harus lengkap,” terang Dede sembari melayani pembeli, dibantu istri dan kedua anaknya.

Sejak mulai berjualan bubur ayam sekitar 15 tahun silam, Dede mencoba terus konsisten dengan ciri khas tersebut. Dalam memperlakukan pelanggan, dia juga mengaku selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik.

“Pelayanan itu nomor satu, walau modal adalah yang utama!” kelakar Dede.

Tutup Setiap Senin

Potrait ramainya antrian bubur ayam Mang Dede. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Dede merantau dari Bandung ke Semarang sekitar 25 tahun silam. Sebelum berjualan bubur, dia sempat berjualan bakpia basah. Lelaki yang hobi memasak itu kemudian mencoba peruntungan lain dengan membuat usaha bubur ayam sekira sepuluh tahun berselang.

Rupanya, manuver Dede membuahkan hasil signifikan. Hampir tiap hari kedai Bubur Ayam Mang Dede ramai pembeli, apalagi kalau akhir pekan. Ini pula yang membuat Dede menutup kedai dan meliburkan diri tiap Senin.

“Kami buka tiap hari, kecuali Senin," ungkap Dede. "Minggu selalu ramai dan biasanya kami kecapaian, makanya Senin libur."

Menurutnya, dalam membuat usaha, seseorang harus inovatif dan berbeda dari yang lain. Untuk Dede, inovasi itu diwujudkannya dengan membuat bubur ayam porsi jumbo. Toppingnya juga dibikin macam-macam. Ilmu ini, lanjutnya, didapatkannya dari hasil sharing dengan pemilik usaha lain.

Dede mengaku mendapat banyak ilmu bisnis setelah menjadi bagian dari lembaga swadaya masyarakat Rumah Zakat. Di tempat tersebut, dia merasa mendapat mentor dan bisa saling berbagi dengan para pemilik usaha, khususnya yang ada di Kota Semarang.

“(Dari hasil sharing) saya belajar membuat bubur yang berbeda, mulai dari rasa hingga penambahan topping,” terang lelaki yang dalam menjalankan usaha selalu dibantu istri dan kedua anaknya tersebut, mulai dari menyiapkan bahan hingga saat berjualan.

Untuk membuat bubur yang berterima bagi lidah orang Semarang, Dede membuat sejumlah perbedaan. Maklum, cita rasa bubur di Jawa dengan Sunda memang berbeda. Menurutnya, orang Jawa lebih suka rasa manis-asin, berbeda dengan kampungnya yang lebih suka makanan asin.

Cara ini rupanya disambut baik para pelanggannya. Saat ini, tiap hari Dede bisa menghabiskan 5 kilogram beras dan 18 kilogram daging ayam untuk membuat bubur. Tiap akhir pekan, jumlahnya bahkan lebih banyak, hingga 9 kilogram beras dan 30 kilogram daging ayam.

Wah, wah, cerita yang menarik! Kenyang dengan bubur, saya juga kenyang dengan kisah sukses Mang Dede dengan bisnis bubur ayamnya. Kalau kamu tertarik, silakan mampir ya. Eits, tapi ingat, Senin tutup dan hanya buka dari pukul 08.00 hingga 13.00 WIB! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024