Inibaru.id - Juyono mungin menjadi sedikit pandai besi tradisional yang tersisa di Kota Semarang, Jawa Tengah. Alasannya, bisa jadi karena sebagian orang memilih membeli perkakas besi pabrik yang lebih murah dan rapi karena dicetak secara massal, bukan ditempa satu per satu dengan tangan.
Seiring dengan banyaknya pabrik yang memproduksi perkakas, profesi pandai besi tradisional mungkin mulai dianggap nggak lagi menjanjikan. Namun, bukan berarti karya seni bikinan Juyono nggak banyak yang meminati. Setiap berjualan di Pasar Gunungpati pada hari pasaran Kliwon, produknya selalu ludes.
Profesi pandai besi memang belum habis. Mereka punya pasar sendiri. Bahkan, nggak sedikit orang yang masih menganggap pandai besi sebagai profesi istimewa atau menganggap para pande sebagai orang suci.
Juyono pernah mengalaminya sendiri. Beberapa kali dia mendapati orang yang datang ke tempatnya, bukan untuk membeli perkakas besi, melainkan mengambil air bekas rendaman besi. Lelaki paruh baya itu mengatakan, air rendaman besi tersebut nantinya akan digunakan untuk obat.
“Iya, untuk obat sakit. Entah benar atau tidak, saya kurang tahu. Mereka langsung izin ke saya buat ambil air,” terang lelaki yang kini tinggal di Kampung Kaligetas, Kelurahan Jatibarang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, tersebut.
Kepercayaan Zaman Dulu
Mitos pandai besi sebagai orang suci sejatinya nggak lepas dari anggapan orang Jawa zaman dulu. Sebagai informasi, pandai besi telah menjadi bagian penting dari perburuan kekuasaan di seluruh dunia, termasuk zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Sejarawan Anthony Reid, sebagaimana dikutip dari Historia, sempat menulis, pandai besi dianggap penting bagi kerajaan dan digunakan sebagai simbol penciptaan kekuasaan.
“Pengerjaan barang-barang dari logam merupakan penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari logam pertama-tama diperlukan untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian,” tulis Reid di Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga.
Reid mencontohkan, perebutan tahta Kerajaan Galuh sekitar abad ke-7 nggak lepas dari cerita Ciung Wanara yang menyertakan pandai besi beserta kekuatan magisnya, sebagai tokoh penting.
Hal serupa juga berlaku di Majapahit. Pandai besi dikumpulkan dan dilindungi keberadaannya untuk menjamin kekuatan perang dan menyediakan senjata bagi para tentara. Ini juga dilakukan Kerajaan Demak dan Mataram.
Dianggap Sosok Istimewa
Pandai besi memang begitu penting pada zaman itu. Meski secara kelas sosial mereka termasuk "jelata", sebagian dari mereka dianggap istimewa. Selain menguasai cara menempa logam, mereka juga kerap dianggap memiliki kesaktian.
Kamu mungkin masih ingat kisah di kitab Pararaton tentang Keris Mpu Gandring yang memakan korban tujuh keturunan Ken Arok. Berniat membunuh Raja Tumapel Tunggul Ametung untuk memperistri Ken Dedes, Arok meminta Mpu Gandring membuatkan keris yang harus selesai dalam sehari.
Oya, "mpu" adalah sebutan untuk pandai besi pada zaman itu. Nahas, keris sakti tanpa sarung tersebut kemudian justru digunakan untuk membunuh Mpu Gandring. Sebelum meregang nyawa, Mpu Gandring sempat mengutuk Arok dengan mengatakan keris itu bakal membunuh Arok dan tujuh keturunannya.
Semua ini menjelaskan bahwa pandai besi memang nggak cuma mahir menempa logam, tapi punya kekuatan linuwih untuk menghasilkan gaman atau perkakas yang bagus. Maka, nggak mengherankan juga kalau masih ada yang menganggap Juyono sebagai orang suci.
Air Rendaman Logam hingga Remahan Besi
Juyono sebetulnya nggak habis pikir mengapa ada yang datang untuk sekadar meminta air rendaman besi yang tengah ditempanya untuk jadi perkakas. Secara logika, air rendaman logam pastilah kotor, mana mungkin bisa menyembuhkan orang sakit?
"Yang namanya sugesti, air selokan saja mungkin juga diminum," kelakar Juyono pada akhirnya. Dia nggak mau ambil pusing.
Selain air rendaman logam, Juyono juga mengaku ada orang-orang yang meminta cuilan atau rontokan besi yang berjatuhan saat ditempa. Konon, remahan besi itu digunakan sebagai syarat sebelum membangun rumah.
“Biasanya dicampur di pembauatan pagar rumahnya atau ditaburkan di halaman, saya juga kurang tahu. Alasannya untuk penolak bala,” terang Juyono, lalu tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Hm, adakah yang baru tahu keyakinan semacam ini, Millens? ? (Audrian F)