BerandaInspirasi Indonesia
Selasa, 14 Nov 2022 21:06

Menjaga Pantai, Menyulam Bakau, dan Mewariskannya ke Anak Cucu

Mamak, petani mangrove asal Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Telah lebih dari dua dekade dia dan keluarganya menyulami pantai dengan tanaman bakau. (Inibaru.id/ Galih PL)

Mengurangi dampak lingkungan akibat abrasi bukanlah pekerjaan satu generasi. Ketika para penyulam bakau di bibir pantai utara Jawa Tengah ini telah menua, mewariskannya ke anak cucu menjadi jalan terbaik agar kesadaran menjaga pantai tidak berhenti.

Inibaru.id – Budi daya udang windu yang meningkat sejak awal 1990-an berimbas besar pada keberadaan hutan mangrove di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

“Menurut ibu, inilah yang menjadi awal dari akhir keberadaan kampung kami,” ungkap Kodriyah, anak ketiga dari pasangan Pasijah dan Rohani, satu-satunya keluarga yang saat ini masih menghuni “desa tenggelam” Rejosari Senik, Desa Bedono, Selasa, 8 November 2022.

Rejosari Senik atau lebih dikenal sebagai Kampung Senik adalah satu dari dua dusun di Desa Bedono yang sekarang telah ditinggalkan warganya. Banjir menahun yang disebabkan oleh abrasi, turunnya daratan, dan meluapnya air laut ke daratan saat arus pasang membuat wilayah yang berlokasi tak jauh dari Kota Semarang itu kini hilang dari Peta Jawa.

Di pantai utara Jawa Tengah, Bedono menjadi salah satu desa yang terkena abrasi paling parah. Ratusan warga telah dipindahkan dari desa yang sebagian warganya berprofesi sebagai petani tambak dan nelayan tersebut. Penyebabnya adalah pembangunan Pelabuhan Tanjungmas Semarang yang menjorok ke laut dan alih fungsi lahan menjadi tambak yang mengorbankan hutan mangrove pada 1990-an.

Rejosari atau Kampung Senik menjadi salah satu dusun di Desa Bedono yang telah ditinggalkan warganya, kecuali keluarga Pasijah. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Kodriyah mengatakan, waktu itu budi daya udang windu memang sangat menggiurkan. Orang-orang berlomba-lomba membuat tambak dengan melakukan alih fungsi sawah tadah hujan dan memperluasnya dengan mengeksploitasi hutan mangrove di sekitar mereka.

“Mereka abai dengan bahaya yang mengintai. Kampung kami mulai kena rob (arus pasang air laut yang meluap hingga menyebabkan banjir) karena nggak lagi terlindungi hutan mangrove. Abrasi juga terjadi di mana-mana,” ujar dia.

Sekitar 2001, lanjutnya, Rejosari Senik sudah hampir tiap hari terendam air laut. Akhirnya, warga pun mulai direlokasi sekitar 2006, menyusul Kampung Tambaksari yang sudah lebih dulu bedol desa. Warga Senik dipindahkan ke Dusun Badong (Desa Sidogemah) dan Daleman (Gemulak), Kecamatan Sayung.

“Ketika Senik mulai menjadi lautan, saya masih berusia lima tahun," ungkap Kodriyah, merinci narasi yang berulang kali diceritakan ibunya sebagai dongeng pengantar tidur. “Sekarang kami menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa di Kampung Senik.”

Mangrove sebagai Benteng Terakhir

Pasijah tengah mempersiapkan propagul bakau untuk ditanam di sekitar rumahnya. Pasijah menjadikan mangrove sebagai benteng terakhir dari bahaya rob. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Saat keluarganya memutuskan bertahan di Kampung Senik alih-alih ikut pindah ke daratan, Kodriyah masih sangat kecil. Yang dia pahami, mereka harus tetap tinggal karena pekerjaan orang tuanya adalah nelayan.

Beberapa tahun kemudian, gadis murah senyum ini baru tahu bahwa orang tuanya adalah petani mangrove. Mereka melakukan pembibitan tanaman lahan basah ini untuk menjaga rumahnya dari terpaan gelombang dan sebagai sumber pendapatan.

“Mereka menanam mangrove dan berusaha keras mempertahankan rumah kami di tengah kepungan rob yang terus naik tiap tahun,” kata dia bangga. “Hutan itulah yang sekarang menjadi benteng terakhir kami.”

Pasijah (kedua dari kiri) bersama Kodriyah (kedua dari kanan), Khoiron (kanan), dan si bungsu Imron Rosadi (kiri) di rumahnya yang telah ditinggikan lebih dari 2 meter. (Inibaru.id/ Ike Purwaningsih)

Kodriyah memang patut berbangga diri. Ibunya saat ini dikenal sebagai salah satu sosok yang berdiri paling depan dalam upaya mempertahankan keutuhan garis pantai di Kabupaten Demak. Bersama keluarganya, telah ribuan bibit mangrove mereka tanam selama lebih dari sedekade terakhir.

Di kalangan pejuang mangrove, Pasijah bukanlah sosok asing. Namanya terkenal, meski perempuan yang telah berusia di atas 60 tahun ini sebetulnya tidak benar-benar mengharapkannya. Ditemui di rumahnya yang hanya bisa dijangkau dengan perahu, dia sejatinya menanam bakau sekadar untuk mempertahankan rumahnya.

“Awalnya hanya bertahan. Alhamdulillah, diparingi (diberi) rezeki di situ,” terang perempuan yang mengaku kurang fasih berbahasa Indonesia itu, Rabu, 2 November.

Pasijah atau akrab disapa Mak Jah bertahan hidup dengan membibit mangrove bersama keluarganya. (Inibaru.id/ Galih PL)

Mak Jah, begitu dia biasa disapa, mengelola pembibitan mangrove di sekitar Senik bersama suami dan anak-anaknya, terutama Ekwan dan Khoiron, anak pertama dan kedua. Sementara, Khodriyah yang baru masuk kuliah dan Imron Rosadi yang masih duduk di bangku SMA hanya membantu saat luang.

“Untuk penanaman, biasanya dibantu sukarelawan, dari para mahasiswa di Semarang atau instansi pemerintahan di Demak,” bebernya. “Untuk pengelolaan, seluruhnya dilakukan saya dan anggota keluarga lain.”

Di usianya yang semakin senja, Mak Jah mengaku bersyukur karena anak-anaknya bersedia menjadi petani mangrove seperti dirinya. Dia sadar, tenaganya sudah tidak sekuat dahulu. Maka, regenerasi adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk mempertahankan kampung halamannya.

“Kami akan bertahan sekuat tenaga, selama mungkin. Anak-anak juga sepertinya ingin tetap di sini,” tegas Mak Jah sembari tersenyum, yang segera dibalas dengan anggukan kepala keempat buah hatinya.

Terpaksa Bertahan

Mak Jah dan mungkin sebagian besar orang yang bertahan di tengah rob melakukannya bukan karena keinginan, tapi keterpaksaan. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Di tengah kepungan banjir rob yang semakin ganas, Mak Jah bukannya tidak pernah berniat untuk pindah. Tiap rumahnya yang sudah ditinggikan hingga 2 meter kebanjiran, dia ingin menyerah. Namun, berkali-kali dia dipaksa bertahan.

“Penghidupan kami di sini, ya kami sebisanya bertahan di sini,” simpulnya.

Mak Jah tidaklah sendirian. Keputusan ini menjadi lagu lama yang acap disenandungkan banyak orang di pesisir pantura Jateng yang terdampak abrasi paling besar seperti Demak dan Pekalongan, berdasarkan data dari Peta Penurunan Tanah 2019 yang dirilis Kemenko Maritim dan Investasi.

Abrasi telah membenamkan sejumlah kampung di pelbagai wilayah di pesisir utara Jawa Tengah, termasuk Demak, Semarang, dan Pekalongan. (Inibaru.id/ Galih PL)

Siti Nur Mariyam, warga Panjang Baru, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, memilih bertahan di rumahnya yang telah ditinggali selama belasan tahun. Meski tiap hari harus berdamai dengan banjir rob, dia mengaku pasrah.

Banyak saudara yang menyuruh Siti pindah, tapi perempuan paruh baya yang sehari-hari hidup dari membuka toko kelontong di depan rumahnya itu bergeming.

Pada bae (sama saja), kok! Pantai kena rob, pindah gunung juga kena longsor, sih?” kelakarnya, akhir Oktober kemarin.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membangun tanggul setinggi 3 meter di wilayah Panjang Baru, Kota Pekalongan, untuk mencegah rob masuk permukiman warga. (Inibaru.id/ Galih PL)

Sebagai informasi, Kelurahan Panjang Baru memang menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak rob di Pekalongan, khususnya di daerah yang ditinggali Siti. Untuk berdamai dengan banjir, Siti secara rutin meninggikan lantai rumahnya.

Dia mengaku sedikit lega karena sekarang sudah ada tanggul setinggi 3 meter di garis pantai yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya itu. Menurutnya, tanggul bisa menjadi solusi jangka pendek, kendati bukan yang terbaik.

“Kalau saya, solusi banjir rob ini bukan tanggul, tapi nandur bongko (menanam bakau) seperti tempat saudara saya di Semarang,” jelasnya sembari melayani pembeli. “Nek bongko diakehi (kalau bakau diperbanyak), manfaatnya kan buat anak cucu juga.”

Menanam Bakau dan Mewariskannya

Penanaman bibit mangrove di garis pantai di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. (Inibaru.id/ Galih PL)

Pasca-banjir besar di desanya sekitar lima tahun lalu, Siti sempat berangan-angan ingin menanam mangrove di pantai dekat rumahnya. Namun, dia gentar. Perempuan berhijab ini merasa sudah tua dan masih punya tanggung jawab menghidupi kedua anaknya seorang diri.

“Dulu pernah (ada penanaman mangrove) seperti di Semarang, dekat tempat kremasi (Krematorium Pekalongan), tapi bentar tok. Sekarang sudah kena abrasi. Ilang (hilang),” ujarnya lirih.

Penanaman mangrove di Semarang yang dimaksud Siti adalah di Kecamatan Tugu. Sejak mulai mengalami abrasi pada 1995, wilayah pesisir kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal itu menjadi langganan banjir, terutama Kelurahan Mangunharjo.

Nur Chayani dan Sururi menginisiasi penanaman mangrove di sisi timur dan barat Sungai Beringin nggak jauh dari garis pantai sekitar dua dekade silam. Saat ini lokasi tersebut telah menjadi hutan bakau sepanjang lebih dari 2 kilometer dari desa. (Inibaru.id/ Galih PL)

Nur Chayani dan Sururi, pasangan istri-suami warga Mangunharjo yang kehilangan tambaknya karena abrasi mulai menginisiasi penanaman mangrove di wilayahnya sekitar awal 2000-an. Secara kontinu, mereka menyulami bibir pantai dengan tanaman yang bisa tumbuh dengan baik di air payau tersebut.

“Mangrove-mangrove pertama sekarang sudah berumur belasan tahun,” ungkap Sururi sembari menunjukkan hutan bakau di sisi timur sungai Beringin yang membentang sejauh lebih dari 2 kilometer dari desa, 5 November lalu.

“Tapi, sekarang kami lebih banyak ke pembibitan saja. Penanaman mulai jarang. Selain pandemi, kami juga merasa sudah tua. Saatnya ganti pemeran utama,” imbuhnya.

Nur Chayani atau Mamak tengah mengumpulkan propagul di sekitar tempat 'indukan' mangrove tak jauh dari rumahnya. (Inibaru.id/ Galih PL)

Perkataan Sururi diiyakan Chayani. Hari yang sama di tempat pembibitan mangrove, perempuan yang di kalangan sukarelawan akrab disapa Mamak itu mengaku mulai kelelahan kalau harus membibit sekaligus menanam. Sesekali perempuan bersahaja itu masih melakukannya, tapi tidak bisa terlalu intens.

“Sampai sekarang, Mamak masih cari propagul (benih bakau) sendiri dari mangrove-mangrove indukan di dekat rumah, lalu disemai di media tanam,” terangnya seraya tangannya dengan cekatan mengikat propagul-propagul yang telah siap tanam per 12 batang.

Kondisi saat ini, Mamak melanjutkan, jauh berbeda dengan awal-awal jadi petani mangrove. Dia pun bercerita, semula dia dan suaminya melakukan pembibitan dan penanaman sendiri, hingga pada 2008 mulai banyak sukarelawan dan sponsor.

“Sukarelawan kebanyakan para mahasiswa dari berbagai kampus di Semarang. Kalau sponsor sebagian besar adalah program CSR dari perusahaan-perusahaan swasta,” kata perempuan enam anak ini. “Ada juga sukarelawan dari luar negeri, yang mengurusi Mbak Laili.”

Mengumpulkan propagul dan menanamnya dalam polibag menjadi kegiatan sehari-hari Mamak saat tidak ada jadwal penanaman atau pengiriman bibit mangrove. (Inibaru.id/ Galih PL)

Laili Fitriyanti atau sering dipanggil Laili, adalah anak kedua pasangan Chayani-Sururi. Sejak 2009, dia telah aktif mengikuti tiap pembibitan dan penanaman mangrove yang dilakukan kedua orang tuanya. Laili mengatakan, ibunya selalu mengajaknya turut ambil bagian dalam setiap kegiatan.

“Pada 2009 saya kenal Claudia, sukarelawan IIWC (Indonesia International Work Camp) asal Jerman yang tinggal di tempat kami selama tiga bulan. Dari situ saya mulai terlibat dalam project IIWC di Mangunharjo (Mangkang Camp),” terang Laili via pesan singkat, Rabu, 9 November.

Hingga 2012, Laili mengaku masih aktif dalam project Mangkang Camp di desanya, termasuk dua kali Bilateral Camp bersama Hongkong dan Korea Selatan serta empat kali International Camp.

“Mamak menjadi orang yang selalu mendorong saya untuk terlibat langsung dengan lingkungan sekitar. Kalau kata Mamak, semuanya harus diniati untuk ibadah, biar bermanfaat untuk dunia-akhirat,” akunya.

Laili (kanan) bersama dengan keluarga besarnya. (Dok Laili Fitriyanti)

Bagi Laili, ibunya adalah sosok penting yang tak pernah absen mengajarkan pentingnya melestarikan lingkungan, menjaga keseimbangan alam, dan pendidikan. Ajaran itu, lanjutnya, diterapkan tak hanya kepada dirinya, tapi juga kakak dan keempat adiknya.

“Mamak selalu menekankan, bencana di Mangunharjo muncul lantaran masyarakat kurang memiliki kesadaran lingkungan, yang terjadi karena kemiskinan dan minimnya pendidikan. Saat pengetahuan itu dimiliki, bencana pun bisa menjadi berkah, kok!” tegasnya.

Laili mengingat betul wejangan itu, meski kini dirinya sudah tidak lagi tinggal serumah dengan orang tuanya. Setelah lulus kuliah magister dan menikah, dia pindah ke Kabupaten Sukoharjo dan memilih menjadi pendidik di sebuah sekolah dasar di sana.

Penanaman bibit mangrove pada 2007. Saat ini, lokasi tersebut telah menjadi hutan bakau nan lebat di sisi barat sungai Beringin. (Dok Laili Fitriyanti)

“Tentang menjaga keseimbangan lingkungan, apa yang diwariskan Mamak masih saya terapkan di sekolah, misalnya dengan menjadikan anak-anak (muridnya) ‘orang tua asuh’ untuk tumbuhan yang mereka tanam sendiri dari biji,” tulis Laili diikuti emotikon tersenyum.

Senada dengan Laili, saat ini Kodriyah juga mengaku telah mulai memikirkan apa saja yang bisa dia lakukan untuk mewujudkan mimpi yang telah dibangun ibunya. Satu-satunya anak perempuan Pasijah ini mengaku sengaja mengambil kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) untuk melanjutkan perjuangan orang tuanya.

“Saya ambil Manajemen Sumber Daya Akuatik di FPIK Undip (Universitas Diponegoro Semarang). Ini baru semester awal, tapi saya berharap bakal dapat lebih banyak ilmu tentang mangrove dan biota laut untuk diterapkan di Kampung Senik,” tandas Kodriyah.

Usia manusia terbatas, sementara pelestarian lingkungan adalah upaya berkelanjutan yang tak akan selesai dalam satu generasi. Maka, mewariskan kesadaran lingkungan kepada anak cucu menjadi jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Bukan begitu? (Galih PL/E01)

Liputan ini merupakan bagian dari program Pelatihan & Story Grant 'Mengubah Narasi Gender di Media Melalui Jurnalisme Konstruktif' yang dilaksanakan oleh Magdalene.co atas dukungan Australian Government dan Investing in Women serta bekerja sama dengan SEJUK.

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024