Inibaru.id - Jika kita mengenang sastrawan lawas, agaknya pikiran orang-orang langsung mengingat pada sosok Pramoedya Ananta Toer atau Sapardi Djoko Damono.
Sayangnya, dua sastrawan besar itu telah tiada. Tapi di era milinieum ini masih ada salah satu sastarawan seangkatan Pramoedya Ananta Toer dan Sapardi Djoko Damono yang masih eksis. Dia bernama Martin Aleida.
Di usianya yang sudah menginjak 80 tahun, Pak Martin sapaan akrabnya baru saja menerbitkan buku berjudul "Tuhan Menangis, Terluka". Secara umum buku itu banyak mengisahkan kejahatan-kejahatan kemanusiaan dalam rentan waktu 1965-1966.
Saat kali pertama bertemu dengan Pak Martin di Sekretariat Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Kota Semarang belum lama ini, mata saya nggak pernah berhenti menatap lelaki tua yang rambutnya telah beruban itu. Saya menaruh hormat pada Pak Martin, lantaran diusia senjanya masih terus berkarya.
Di hadapan puluhan orang yang hadir menyaksikan acara diskusi dan bedah buku terbarunya, Pak Martin menceritakan, membutuhkan waktu dua tahun untuk menyusun hingga menyelesaikan buku terbarunya tersebut.
"Tantangan terbesar menulis buku ini adalah saat saya mengumpulkan bahan dari website. Saya nggak ngerti bagaimana mengorganisasi bahan-bahan tersebut," ucap laki-laki bernama asli Nurlan itu.
Karena buku terbarunya banyak mengutip karya orang lain, Martin berusaha menghindari plagiat dengan cara memparafrasekan sumber-sumber yang dia dapatkan.
"Membaca banyak sumber lalu menuliskan kembali dengan paragraf yang baik juga jadi tantangan berat lainnya," tambah sastrawan kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943.
Lahirkan Banyak Karya
Ketertarikan Martin pada dunia sastra sudah ada sedari kecil. Dia semakin membulatkan tekadnya untuk bergelut dengan sastra dengan cara pernah menjadi mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara dan Akademi Sastra Multatuli Jakarta. Dia juga pernah menempuh pendidikan di Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat.
Oleh sebab itu, nggak heran jika hampir separuh hidup dia habiskan untuk menulis. Buat yang belum tahu, Martin Aleida telah melahirkan banyak karya sastra antara lain Kata-kata Membasuh Luka (2019), Tanah Air yang Hilang (2017), Langit Pertama, Langit Kedua: Cerita pendek, Catatan Perjalanan, Essay, Kritik, Perdebatan (2013), Mata Baik-baik Kawan: Kumpulan Cerita Pendek (2009), Leotin Dewangga: Kumpulan Cerpen (2003), dan masih banyak yang lainnya.
Jika kamu amati, setiap karyanya itu memiliki ciri khas yakni dia selalu konsisten menulis karya sastra dengan pendekatan jurnalistik. Bahkan, dia mengaku, tanpa pendekatan itu seorang Martin Aleida nggak bisa menulis dengan baik.
Pernah Bekerja Jadi Wartawan
Sebelum dikenal sebagai sastrawan, kiprah Martin muda terbilang luar biasa. Saat usia 22 tahun, dia telah bekerja menjadi wartawan di media Harian Rakjat. Saat itu Martin ditugaskan meliput kegiatan sehari-hari sang proklamator Kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno.
Sayangnya, kiprahnya di harian itu hanya berumur pendek. Setelah 7 bulan merekam segala aktivitas Bung Karno, Pak Martin memutuskan keluar, lalu bergabung dengan Majalah Tempo.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998 membuat Martin lebih leluasa menulis cerita pendek atau novel yang isinya banyak menceritakan tentang kekejaman zaman Orde Baru pasca-meletusnya peristiwa besar GS30 PKI.
Lewat karya terbaru maupun karya lainnya, Martin Aleida berharap tulisannya bisa meluruskan soal narasi-narasi keliru yang selama ini mendeskriminasi keluarga maupun keturunan PKI.
"Jika pengadilan nggak bisa menyelesaikan masalah kejahatan terhadap kemanusiaan pasca tahun 1965. Maka mahkamah sastralah yang akan menuntaskannya," tegasnya.
Wah, salut banget dengan tekad dan semangat dari penulis Martin Aleida ya, Millens. Dari dia, kita anak muda bisa belajar bahwa tetaplah aktif menyampaikan gagasan dan memperjuangkan kebenaran meski usiamu sudah nggak muda lagi. Setuju? (Fitroh Nurikhsan/E10)