Inibaru.id - Konon Semarang dikenal sebagai kuburan seni. Di Kota Atlas ini seni katanya nggak bisa berkembang dengan baik. Atau jika pun berkembang letupannya nggak begitu menyala. Pun senasib dengan dunia sastranya.
Meskipun Kota Semarang melahirkan banyak nama Sastrawan tenar seperti Yusi Avianto Pareanom, Triyanto Triwikromo, Nh. Dini, Martin Suryajaya, dan As Laksana, namun dinamika di sastra Kota Semarang ini nggak "sesubur" nama besar tersebut.
Karena itu pada acara “Semarang Literary Trinelle” yang dilaksanakan di Taman Srigunting dan gedung Oudetrap pada Sabtu (27/7) malam, timbul sebuah diskusi yang bertajuk, “Sastra Semarang Piye Kabare?”. Dalam acara tersebut pembicara yang dirasa sudah mengenal Sastra Semarang dihadirkan. Mereka semua antara lain Sulis Bambang, Handry TM, Heri CS, dan Ahmad Khaerudin.
Ditanyai tentang bagaimana gambaran wajah sastra Semarang, Heri CS dan Sulis Bambang berkata kalau baik-baik saja. Sebab mereka juga nggak berhenti menggerakkan budaya literasi dengan kelompok sastranya sendiri. Sulis Bambang dengan Bengkel Sastranya dan Heri Cs dengan Komunitas Lereng Medini-nya.
“Komunitas saya selalu aktif bergerak. Bahkan setiap tahun menerbitkan minimal satu buku,” aku Sulis Bambang.
Para peserta tampak takzim mendengar pembicara menyampaiakn materi soal sastra Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)
Sementara menurut Handry TM, sastra di Kota Semarang ini sejak dari dulu memang seperti ini gambarannya. Sebetulnya nggak sepi-sepi amat. Banyak juga aktivitas dan komuitas sastra, namun secara mengelompok di rumah masing-masing.
“Dari saya muda memang seperti ini. Enggak terlalu top tapi juga nggak mati. Kelompok-kelompoknya nggak pernah bersatu tapi bisa jalan terus,” ujar Hadry TM yang kebetulan juga ketua Dewan Kesenian Kota Semarang (Dekase).
Argumen kontra timbul dari Ahmad Khaerudin. Pegiat seni di Kota Semarang itu menyebut kalau kurangnya kesadaran dari pegiat sastra untuk saling bahu membahu dalam memajukan sastra Semarang.
“Contoh kecil waktu saya masih menjadi anggota Dekase dulu. Bahkan buat mengumpulkan orang untuk koordinasi acara saja susah. Dari hal-hal seperti itulah saya kira yang bikin sastra Semarang ini nggak kunjung maju,” tukas Khaerudin.
Setelah segala tanggapan dari pembicara itu semua, esais Kota Semarang, Widyanuari Eko Putra, yang kebetulan hadir memeberi tanggapan. Menurutnya, sastra Semarang untuk saat ini menunjukan kemajuan pesat. Baik dari segi komunitas, penerbitan, hingga produktivitas menulis. Cuma bedanya sekarang ini interaksinya sudah berubah, nggak harus ketemu karena sudah lewat kanal dunia digital.
“Perkaranya sekarang memang, para pegiat sastra di Kota Semarang ini hubungan relasinya lewat sosial media atau website. Mereka produktif di kanal itu dan saling menilai juga di kanal itu. Untuk produktivitas penulis pun juga banyak yang menerbitkan buku. Komunitas pun juga aktif di daerah masing-masing. Jadi saya menganggap kalau sastra Semarang sejauh ini, baik-baik saja,” pungkas Widyanuari.
Mengambil kesimpulan dari semua diskusi ini, Heri Cs mengatakan kalau perlunya kesadaran bagi setiap pegiat sastra di kota ini. Meskipun sudah aktif di daerah masing-masing tapi nggak ada salahnya untuk berkumpul jadi satu.
“Jadi pada intinya, semua sudah aktif di rumah-masing. Nah, oleh karenanya, mari kita saling bersinergi. Sesekali saling berkumpul agar sastra Semarang ini nggak dikatakan redup,” tutup Heri.
Jadi seperti itulah gambaran sastra Semarang ya, Millens. Ternyata para pegiat ini aktif di daerah masing-masing dan cara berhubungannya pun sudah berubah melalui dunia digital. Jadi kalau ditanya Sastra Semarang piye kabare? Baik-baik saja kok. (Audrian F/E05)