BerandaInspirasi Indonesia
Kamis, 17 Mar 2021 12:05

Breakdance di Semarang; Bagaimana Subkultur Ini Masuk dan Menggeliat

Komunitas Breakdance Semarang Loenpia Flavour berlatih di pelataran kantor Walikota. (Inibaru.id/ Audrian F)

Sebelum disebut breakdance, dulu di Indonesia terkenal dengan sebutan "tari kejang". Keberadaannya di Indonesia sempat dikecam oleh Pemerintah Orde Baru. Kemudian booming karena tampil dalam acara TV. Lalu bagaimana skena ini berkembang di Semarang?

Inibaru.id - Sore di tahun 2000-an awal bagi Alam Sang Saka adalah waktunya buat mejeng di selasar parkir depan Citra Land. Sebuah tape dikeluarkan dan kaset-kaset koleksi sekelompok pemuda itu langsung diputar. Pemanasan kecil dilakukan, lalu nggak berselang lama mereka langsung menari "kejang".

Tari kejang, begitulah dulu orang menyebutnya. Atau dalam sebutan populernya adalah “Breakdance”. Di Indonesia, breakdance punya sejarah panjang.

Kedatangan breakdance di Indonesia nggak diketahui dengan pasti. Tapi, kemungkinan sekitar 1984-1985 seiring banyaknya tulisan mengenai tarian ini di beberapa media mainstream. Nah, penamaan “Tari Kejang” ini dipopulerkan oleh salah satu media, Kompas.

Tahun 80'-an, breakdance disebut tari kejang. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Pasca-populer dengan nama itu, joget ini juga sampai ke layar lebar. Sebut saja seperti Tari Kejang (1985), Demam Tari (1985), Tari Kejang Muda-Mudi (1985), dan yang terkenal adalah Gejolak Kawula Muda (1985).

Namun breakdance masuk ke Indonesia nggak langsung disambut dengan ramah. Di era Orde Baru, tarian ini bahkan dikecam oleh Pemerintah karena dianggap merusak moral. Di Surabaya juga dilarang, begitupula di ibukota Jakarta.

Pada era '80-an, di kala Soeprapto menjadi gubernur Jakarta, ruang gerak breakdance sangat sempit. Harus ada izin kalau mau menyelerenggarakannya. Namun nyatanya, larangan itu nggak berarti. Di Jakarta, tarian ini kian populer. Mereka punya habitat di Jalan Kemang atau halaman Monas.

Bertumbuhnya geliat breakdance ternyata nggak hanya di Jakarta, tapi juga menular ke Semarang. Alam Sang Saka, merupakan Bboy (sebutan untuk pemain breakdance) lawas yang dimiliki oleh Semarang. Saat saya temui di rumahnya dia bercerita banyak tentang skena breakdance Semarang.

“Kalau saya itu aktif tahun 2002,” ujarnya pada Minggu (14/2/2021).

Meski ditolak di mana-mana, breakdance diterima di Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Ditolak di Mana-Mana, Diterima di Semarang

Siapa sangka, breakdance bisa bergerak leluasa di Kota Lunpia. Gubernur Jawa Tengah Ismail mendukung kehadiran breakdance. Baginya, tarian ini merupakan penyalur hasrat positif anak muda. Menari dirasa lebih baik dibanding minum-minuman beralkohol atau madat.

Namun, diterima bukan berarti boleh nggak taat peraturan. Arsip Tempo pernah menyebut, pada 1985 Gubernur Ismail membubarkan festival breakdance yang akan diselenggarakan di Semarang. Masalahnya, festival itu bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Jadi, dirasa kurang pas saja pemilihan waktunya.

Tahun 80-an memang menjadi awal popularitas breakdance di beberapa wilayah, termasuk Semarang. Saka pun membenarkan jika breakdance memang sudah ada sejak tahun-tahun itu.

“Nah, semenjak ramai di tahun ‘80an itu, sebetulnya sempat redup di tahun 90’an. Lalu ramai lagi di tahun 2000-an,” jelas Saka.

Sebetulnya Breakdance bukan yang pertama. Kala itu budaya Hip-hop seperti musik rap lebih dulu eksis di Semarang. Namun karena breakdance merupakan bagian dari hip-hop juga, akhirnya keduanya saling guyup.

Waktu itu orang-orang tahu breakdance bukan dari Youtube seperti sekarang. Saka mengungkapkan kalau referensi mereka berasal dari sebuah kaset.

“Begitu nonton kok keren. Lalu kemudian menggelar latihan-latihan kecil di depan Citraland. Ke mana-mana bawa matras buat alas breakdance,” terangnya.

Ada kisah unik dari kaset yang mereka pelajari, Millens. Jamal, salah seorang Bboy senior bercerita kalau semua orang di Semarang belajar breakdance dengan acuan 3 kaset yang sama.

Ketiga kaset itu memiliki judul Battle of The Year, Freestyle Session, dan Tribal. Kaset itu diberi oleh juri acara TV "Lets Dance" yang sengaja keliling Indonesia untuk memberikan edukasi breakdance.

"Jadi nggak heran kalau orang-orang breakdance lawas itu gerakannya hampir-hampir sama. Ya karena acuannya cuma tiga kaset itu," terangnya pada Jumat (26/2/2021).

Jamal salah seorang Bboy lawas dari Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

 “Lets Dance”  Bikin Breakdance Tenar           

Nah, acara "Lets Dance" tadi itulah yang akhirnya bikin breakdance makin tenar pada 2005. Setelah acara itu laris, breakdance di berbagai kota juga ikut menjamur termasuk di Semarang.

“Dulu bisa sampai berpuluh-puluhan. Kalau sekarang ya paling 5 atau 10 udah bagus,” tambah Jamal.

Sewaktu breakdance booming, beberapa brand jadi ikut tertarik, sponsor berdatangan dan event juga makin masif. Hasilnya di tahun itu breakdance jadi budaya populer anak-anak muda di Semarang. Bahkan hampir setiap sekolah di Semarang punya ekstra kulikuler breakdance.

Hampir tiap bulan juga, Jamal dan kawan-kawan manggung di mal-mal seperti Java Mall atau Ramayana. Kampus-kampus juga banyak yang mengundang mereka. Hm, benar-benar masa jaya!

Setelah itu layaknya perkakas populer, perlahan tarian ini lesu. Eksistensinya nggak sekeren tahun-tahun sebelumnya. Ingar-bingarnya ikut lenyap seiring para penghobi musiman menghilang satu persatu.

"Tren sih. Orang Indonesia kan latah. Jadi yang bertahan ya dari seleksi alam itu," pungkasnya.

Meskipun begitu, breakdance di Semarang tetap menari. Mereka yang masih bertahan adalah orang-orang yang benar-benar gandrung. Bukan semacam penyuka musiman. Di Semarang, masih bisa ditemukan kelompok kecil breakdance. Ada pula yang tergabung dalam wadah yang lebih besar seperti "Loenpia Flavour".

Kamu termasuk orang yang pernah kesengsem sama tari kejang ini nggak, Millens? (Audrian F/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024