BerandaInspirasi Indonesia
Minggu, 3 Jun 2023 08:00

Bela Diri Gong Cik, Kesenian Langka Asli Pati untuk Menipu Penjajah Belanda

Anggota grup kesenian Gong Cik di Cluwak, Pati terdiri atas orang-orang yang sudah berumur hingga anak-anak. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Gong Cik, seni Bela diri asli Pati yang diiringi musik gamelan, sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Hingga sekarang, masih ada beberapa praktisi Gong Cik yang tertatih-tatih melestarikan seni yang hampir punah ini.

Inibaru.id - Pada zaman penjajahan Belanda, di wilayah pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, banyak warga yang diam-diam belajar bela diri. Uniknya, bela diri ini diiringi dengan musik gamelan sehingga seolah terlihat sebagai tarian.

Seni bela diri yang diiringi musik gamelan ini dikenal sebagai bela diri Gong Cik. Kata “Gong” berasal dari salah satu nama instrumen gamelan, sedang kata “Cik” berasal dari kata pencik yang berarti silat dalam bahasa Jawa.

Para sesepuh pada zaman dahulu sengaja mengemas seni bela diri Gong Cik dengan iringan gamelan untuk mengecoh para penjajah agar masyarakat bisa leluasa berlatih bela diri. Mereka belajar bela diri tentu saja dengan tujuan melawan para penjajah masa itu.

“Tujuan sebenarnya dari bela diri Gong Cik ini dulunya adalah untuk melindungi diri dan menjaga keamanan lingkungan dari penjajah,” terang Dwi Krismiarso, koordinator pelestari Gong Cik asal Cluwak, Pati saat ditemui Inibaru.id di tempat latihan.

“Makanya, digunakanlah iringan musik gamelan, untuk menipu para penjajah itu. Untuk sekarang ini, musik pengiring dari Gong Cik itu ada dua kendang, dua kenong, dan satu kempul,” imbuh lelaki 56 tahun itu.

Berbeda dengan Bela Diri Lain

Krismiarso saat menabuh kempul, salah satu perangkat gamelan yang harganya jutaan rupiah. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Krismiarso menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara Gong Cik dan seni bela diri lain. Perbedaan paling kentara adalah adanya iringan gamelan. Hal ini tentu saja nggak ditemui dalam seni bela diri lainnya. Selain itu, jurus dan gerakan Gong Cik saat ini sudah dirancang menjadi sebuah tarian.

Nah, setelah masa penjajahan berakhir, kesenian Gong Cik ini masih dilestarikan warga Desa Bleber, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati hingga saat ini. Terlebih, para warga yang memang masih peduli akan eksistensi seni Gong Cik ini.

“Memang perlu pengorbanan besar untuk melestarikan kesenian ini, Mbak. Selain harus meluangkan waktu, kami juga membeli semua alat musik dan properti pendukung yang jelas mahal itu secara mandiri,” ujar Krismiarso sambil tersenyum getir.

Diikuti Anak-Anak

Potret Mbah Japar dan Mbah Suradi sebagai penabuh kendang saat latihan Gong Cik. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Meski praktisi Gong Cik di desa Bleber kini tinggal hitungan jari, tapi mereka masih sering eksis di beberapa event rakyat, seperti tampil di acara balai desa, hajatan, bahkan tampil di desa lain.

Nggak hanya itu, Gong Cik tampaknya akan tetap bertahan dalam beberapa waktu ke depan karena sudah sekitar setahun ini anak-anak Desa Bleber ikut melestarikan kesenian tersebut. Mereka bahkan ikut pentas di beberapa event.

Hal ini diiyakan oleh Mbah Japar, salah seorang praktisi sekaligus pelatih Gong Cik di desa itu. Di umurnya yang menginjak 72 tahun itu, dia masih semangat dalam melatih anak-anak hingga ikut tampil saat pentas.

“Kalau saat pentas, kami kolaborasi dengan anak-anak, mbak. Jadi, kami buat dua babak. Babak pertama, untuk tarung yang tua, babak kedua untuk tarung anak-anak,” jelas Mbah Japar.

Gong Cik menarik perhatian anak-anak zaman sekarang, meski sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Mbah Japar menambahi bahwa pemain Gong Cik ini harus serbabisa. Mereka harus bisa tampil pencik, maupun menabuh alat musik agar bisa berganti-gantian. Sehingga, jika dua orang tampil, yang lain bisa berperan sebagai penabuh gamelan dan sebaliknya.

Pelestari Gong Cik di Desa Bleber ini mengakui betul bahwa seni Gong Cik kini menghadapi tantangan yang besar karena harus bersaing dengan seni modern yang lebih disukai banyak orang, khususnya anak muda.

Semoga ada perhatian pemerintah untuk seni langka ini! Selain agar bisa lebih berkembang, juga supaya seni Gong Cik nggak terdengar asing di telinga orang-orang. Semangat berkarya terus para pelestari seni! (Rizki Arganingsih/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024