BerandaIndo Hayati
Sabtu, 15 Des 2017 00:33

Anggrek Hantu dari Pulau Jawa

Anggrek Hantu dari Pulau Jawa

Gastrodia bambu atau anggrek hantu. (lipi.go.id)

Anggrek spesies baru ini suka tempat gelap, khususnya di balik rumpun bambu. Selain suka tempat gelap, bentuknya juga seram, maka meski punya nama ilmiah, ia dikenal sebagai anggrek hantu.

Inibaru.id – Pertengahan Agustus lalu, ditemukan spesies anggrek baru yang unik tapi memberi kesan seram. Kenapa? Anggrek spesies baru itu disebut merepresentasikan dunia kematian.

Dikutip dari laman Lipi.go.id, penemuan spesies baru itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional Phytotaxa. Penemu yang memublikasikan adalah Destario Metusala, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari Balai Konservasi Tumbuhan (BKT) Kebun Raya Purwodadi bersama dengan peneliti biologi konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna.

Sobat Millens, disebutkan dalam publikasi, spesies baru anggrek tersebut berasal dari kelompok anggrek holomikotropik atau kerap disebut anggrek hantu oleh para peneliti. Spesies baru yang  diberi nama ilmiah Gastrodia bambu ini berasal dari Pulau Jawa.

Pemilihan nama berasal dari habitatnya yang spesifik di sekitar rumpun bambu. Dari habitatnya tersebut, nama pun muncul dari bahasa Indonesia, yakni “bambu”. Alhasil, nama lengkap spesies baru itu pun menjadi Gastrodia bambu.

Anggrek hantu adalah tumbuhan yang nggak berklorofil sehingga nggak bisa berfotosintesis, namun nggak bersifat parasit, lo. Maka, seluruh daur hidupnya menggantungkan diri dari suplai nutrisi organik melalui simbiosis dengan jamur mikoriza.

Anggrek kelompok holomikotropik ini umumnya hanya muncul pada satu periode pendek (2-4 minggu) dalam satu tahun. Perbungaannya secara tiba-tiba akan muncul dari permukaan tanah/seresah, kemudian setelah 1-2 minggu perbungaan akan layu busuk dan lenyap.

Baca juga:
Penyu Sisik, Selangkah Menuju Punah
Benar Nggak Keong Sawah Bisa Gantikan Daging Sapi?

Kombinasi warna bunga genus Gastrodia pun tidak pernah mencolok. Umumnya berkisar pada warna putih, kekuningan, hingga kecokelatan.  “Terlebih anggrek ini menyukai habitat yang gelap, lembab, dan selalu berdekatan dengan rumpun bambu lebat yang sudah tua. Tidak mengherankan apabila spesies ini memiliki kesan konotasi ‘angker’,” jelas Destario belum lama ini.

Gastrodia bambu diduga memerlukan kondisi ekologi yang sangat spesifik dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Anggrek ini sangat peka terhadap kekeringan, intensitas cahaya berlebih, dan juga perubahan pada media tumbuhnya.

Gangguan pada habitat anggrek itu, misalnya pembukaan rumpun bambu, diduga akan berdampak terhadap perubahan kelembaban, intensitas cahaya dan juga sifat biologi pada media tumbuhnya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan populasi anggrek ini. Adanya perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan intensitas curah hujan tahunan, diperkirakan sangat memengaruhi periode perbungaan dan pertumbuhan populasi anggrek holomikotropik ini.

Bunga Berbentuk Lonceng

Gastrodia bambu memiliki bunga berbentuk lonceng dengan ukuran panjang 1,7-2 cm dan lebar 1,4-1,6 cm. Bunga didominasi warna cokelat gelap dengan bagian bibir bunga berbentuk mata tombak memanjang bercorak jingga. Pada satu perbungaan dapat menghasilkan hingga 8 kuntum bunga yang mekar secara bergantian. Bunga menghasilkan aroma ikan busuk untuk mengundang serangga polinator. Perbungaan muncul dari tanah berseresah di bawah rumpun-rumpun bambu tua pada ketinggian 800 - 900 m dpl.

Tantangan Konservasi

Bagaimana nasib anggrek itu selanjutnya?

Millens, nggak mudah untuk tetap mempertahankan spesies anggrek itu. Hal itu diakui oleh para peneliti. Konservasi anggrek tersebut jadi tantangan besar karena membudidayakannya saja sulit.

"Penelitian terkait kemampuan adaptasi spesies ini dalam menghadapi perubahan iklim masih terus dilakukan melalui analisis anatomi dan fisiologi," kata Destario.

Baca juga:
Takokak: Kecil dan Pahit, Tapi…
Kesemek: Substropis Oke, Tropis pun Oke

Perlu diketahui, penemuan spesies baru itu berkat upaya keras organisasi kemahasiswaan Canopy (Departemen Biologi, Universitas Indonesia) dan BiOSC (Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada) dalam membantu proses pengamatan habitat dan pencatatan record populasi.  

Semoga ilmuwan kita mampu melakukan korservasi. Sebab, sayang ya bila anggrek unik ini nggak bisa bertahan lama. (EBC/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Iri dan Dengki, Perasaan Manusiawi yang Harus Dikendalikan

27 Mar 2025

Respons Perubahan Iklim, Ilmuwan Berhasil Hitung Jumlah Pohon di Tiongkok

27 Mar 2025

Memahami Perasaan Robot yang Dikhianati Manusia dalam Film 'Companion'

27 Mar 2025

Roti Jala: Warisan Kuliner yang Mencerminkan Kehidupan Nelayan Melayu

27 Mar 2025

Jelang Lebaran 2025 Harga Mawar Belum Seharum Tahun Lalu, Petani Sumowono: Tetap Alhamdulillah

27 Mar 2025

Lestari Moerdijat: Literasi Masyarakat Meningkat, tapi Masih Perlu Dorongan Lebih

27 Mar 2025

Hitung-Hitung 'Angpao' Lebaran, Berapa Banyak THR Anak dan Keponakan?

28 Mar 2025

Setengah Abad Tahu Campur Pak Min Manjakan Lidah Warga Salatiga

28 Mar 2025

Asal Usul Dewi Sri, Putri Raja Kahyangan yang Diturunkan ke Bumi Menjadi Benih Padi

28 Mar 2025

Cara Menghentikan Notifikasi Pesan WhatsApp dari Nomor Nggak Dikenal

28 Mar 2025

Hindari Ketagihan Gula dengan Tips Berikut Ini!

28 Mar 2025

Cerita Gudang Seng, Lokasi Populer di Wonogiri yang Nggak Masuk Peta Administrasi

28 Mar 2025

Tren Busana Lebaran 2025: Kombinasi Elegan dan Nyaman

29 Mar 2025

AMSI Kecam Ekskalasi Kekerasan terhadap Media dan Jurnalis

29 Mar 2025

Berhubungan dengan Kentongan, Sejarah Nama Kecamatan Tuntang di Semarang

29 Mar 2025

Mengajari Anak Etika Bertamu; Bekal Penting Menjelang Lebaran

29 Mar 2025

Ramadan Tetap Puasa Penuh meski Harus Lakoni Mudik Lebaran

29 Mar 2025

Lebih dari Harum, Aroma Kopi Juga Bermanfaat untuk Kesehatan

29 Mar 2025

Disuguhi Keindahan Sakura, Berikut Jadwal Festival Musim Semi Korea

29 Mar 2025

Fix! Lebaran Jatuh pada Senin, 31 Maret 2025

29 Mar 2025