BerandaHits
Sabtu, 23 Agu 2024 16:10

Tone Deaf Dalam Politik; Ketika Pemimpin Kehilangan Kepekaan terhadap Rakyat

Tone deaf dalam politik merujuk pada pejabat atau penguasa yang tak peka terhadap suara rakyat. (BBC)

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemimpin atau tokoh publik yang dinilai nggak peka terhadap situasi, perasaan, dan kebutuhan rakyat.

Inibaru.id - Istilah "tone deaf" awalnya muncul dalam konteks musik, merujuk pada seseorang yang tidak bisa mengenali nada atau ritme dengan baik. Namun, istilah ini telah berkembang dan digunakan dalam berbagai konteks lain, termasuk politik.

Dalam ranah politik, "tone deaf" digunakan untuk menggambarkan ketidakpekaan seorang politikus atau pemimpin terhadap perasaan, kebutuhan, atau situasi yang dihadapi oleh masyarakat.

Seorang politikus yang dianggap "tone deaf" sering kali mengeluarkan pernyataan atau mengambil tindakan yang menunjukkan kurangnya empati atau pemahaman terhadap apa yang sedang dirasakan oleh rakyat. Misalnya, ketika seorang pejabat tinggi memberikan komentar yang tidak pantas atau tidak relevan saat negara sedang mengalami krisis, ia bisa disebut "tone deaf."

Hal ini karena komentarnya menunjukkan bahwa ia tidak peka terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat, atau tidak memahami dampak dari ucapannya terhadap publik.

Jika pejabat sudah dianggap tone deaf, rakyat mau tak mau harus maju agar lebih didengar. (Kompas)

Dalam politik, menjadi "tone deaf" dapat merusak citra seorang pemimpin dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Ketidakpekaan terhadap sentimen publik dapat mengalienasi pemilih, mengurangi dukungan, dan memicu kritik luas.

Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin politik untuk memiliki kepekaan sosial dan emosional yang baik, agar dapat memahami situasi dengan benar dan meresponsnya dengan cara yang sesuai.

Hm, tone deaf benar-benar fenomena yang patut disayangkan ya, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024