BerandaHits
Minggu, 17 Jul 2021 21:16

Stigma Perempuan Cantik Harus Berkulit Cerah Ternyata Gara-gara Penjajah Belanda

Perempuan Indonesia suka warna kulit cerah. (Flickr/ Rokok Indonesia)

Di Indonesia, banyak perempuan yang percaya kalau cantik harus berkulit cerah. Padahal, di Indonesia ada beragam jenis warna kulit. Ternyata, standar kecantikan ini dipicu oleh penjajahan Belanda, lo. Kok bisa?

Inibaru.id – Orang Indonesia memang memiliki banyak jenis warna kulit. Ada yang cerah, ada yang sawo matang, ada juga yang gelap. Tapi kalau kita mencermati produk-produk kecantikan kulit di sini, banyak perempuan Indonesia suka warna kulit cerah. Apa penyebabnya, ya?

Usut punya usut, anggapan bahwa kulit dengan warna cerah dianggap lebih cantik ini dipengaruhi oleh faktor penjajahan Belanda, lo. Dulu, kehadiran bangsa Belanda yang berkulit putih seperti jadi standar kecantikan yang baru dari yang selama ini dikenal masyarakat Nusantara. Ditambah dengan kedudukan Belanda sebagai penjajah yang seperti jadi lebih superior, maka ada anggapan kalau kulit warna cerah lebih baik.

Meski terkesan rasis, realitanya di zaman Hindia Belanda, warga kulit putih memang dianggap sebagai warga kelas satu. Mereka adalah petinggi pemerintahan, perusahaan, atau majikan.

Awalnya, hanya sedikit bangsa kulit putih Belanda yang datang dan bermukim di Nusantara. Alasannya tentu saja adalah jarak yang sangat jauh ditambah dengan iklim yang sangat berbeda sehingga membuat mereka susah beradaptasi dengan kehidupan baru. Namun, sejak Terusan Suez di Mesir dibuka pada 1869, jarak yang jauh ini seperti terpangkas.

Semakin banyak wanita berkulit putih dari Belanda yang akhirnya datang ke Hindia Belanda. Mereka datang untuk mengadu nasib sekaligus membawa kebudayaannya ke sini. Salah satunya adalah cara merawat kecantikan. Nah, hal ini ternyata ikut mempengaruhi perempuan-perempuan pribumi di masa itu.

Iklan produk kecantikan di zaman Hindia Belanda. (Historia/Pandji Poestaka)

Mulai banyak perempuan Nusantara yang ingin memiliki warna kulit lebih cerah. Ditambah dengan adanya hak-hak istimewa seperti pekerjaan, kelas sosial, dan pendidikan yang didapatkan ras kulit putih di Hindia Belanda di kala itu, semakin banyak perempuan yang memimpikan untuk mendapatkan hak-hak istimewa tersebut.

“Yang disebut wanita-wanita elite di masa kolonial bukan hanya para istri Gubernur Jenderal. Ada juga janda-janda, dan anak-anak dari pedagang senior, administrator gudang, pimpinan atau kepala kantor dagang, kantor fiscal, pejabat pengadilan, serta anggota dewan Hindia Belanda,” tulis Jean German Taylor dalam buku berjudul Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Hal lain yang mempengaruhi perubahan standar kecantikan perempuan Nusantara adalah iklan-iklan yang muncul di surat kabar di awal 1900-an. Dulu, iklan produk kecantikan kebanyakan adalah perempuan-perempuan dari Eropa. Menariknya, bahasa yang dipakai di iklan tersebut adalah bahasa lokal.

Sebagai contoh, iklan Sabun Palmolive di harian De Huisvrouw in Indie pada 1937 memperlihatkan perempuan cantik berkulit putih. Alhasil, banyak perempuan lokal yang seperti percaya dengan narasi kalau kecantikan identik dengan warna kulit yang lebih cerah sebagaimana diiklan tersebut.

Produk-produk kecantikan yang diklaim bisa membuat warna kulit lebih cerah seperti bedak Virgin dan Ninon, serta krim dingin Snow pun banyak dibeli perempuan lokal. Nah, ternyata, hal ini terus bertahan hingga sekarang meski kini semakin banyak iklan produk kecantikan yang berusaha mengubah stigma cantik haruslah berupa kulit cerah.

Kalau kamu, apakah juga percaya kalau perempuan cantik harus berkulit cerah, Millens? (Voi/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: