Inibaru.id – Pada 2009 lalu, Amida Yusriana yang saat itu masih duduk di bangku kuliah merasakan pengalaman pertama berpuasa di luar negeri, tepatnya di Korea Selatan. Di sana, dia melakukan kegiatan voluntary di sebuah sekolah yang lokasinya nggak jauh dari Seoul, selama tiga bulan.
Ramadan saat itu jatuh di akhir musim panas, dengan durasi siang yang sedikit lebih panjang dari Indonesia. Ditambah dengan iklim yang cukup kering dan nggak adanya satu pun orang lain yang ikut berpuasa, Ami, panggilan akrabnya, bercerita kalau pengalaman berpuasa di sana cukup berat.
“Apa yang aku makan pas makan malam, jadi makanan sahur dan berbuka sekaligus. Puasa jadi kerasa berat banget. Apalagi, aku juga harus aktif melakukan berbagai hal seperti biasa,” ucapnya kepada saya kala itu.
Siapa sangka, sekitar 15 tahun kemudian, Amida kembali merasakan pengalaman berpuasa di luar negeri. Tapi, kali ini bukan untuk kegiatan voluntary. Dia kini sudah di tahun kedua menempuh pendidikan S3 di University van Amsterdam, Belanda. Ramadan kali ini adalah yang kali kedua buatnya selama berada di Negeri Kincir Angin.
Beda dengan pengalamannya berpuasa di Korea Selatan dulu yang terasa berat, dia mengaku berpuasa di Belanda cenderung lebih enteng rasanya.
“Sekarang Belanda kan di akhir musim dingin ya jadi suhunya nyaman buat puasa. Durasi puasanya juga nggak selama di Indonesia. Imsak sahur pukul 05.30, jam berbukanya jam 17.30. Jadi sahur rasanya seperti sarapan dan berbuka seperti makan malam,” terangnya melalui pesan suara WhatsApp, Rabu (5/3/2025).
Meskipun puasanya nggak terasa berat, Ami mengaku kehilangan vibes Ramadan yang meriah sebagaimana saat dia di Indonesia. Apalagi, meskipun di Amsterdam banyak komunitas muslim dari Timur Tengah maupun dari Indonesia, kebetulan di lingkungannya tinggal dan di kampusnya, hanya dia yang melakukannya.
“Di kampus orang-orang pada tahu aku puasa. Tapi ya karena bukan budaya mereka, jadi tanggapannya biasa aja dan nggak begitu peduli. Teman dari asrama malah ada yang menganggap puasa itu menyiksa badan sehingga merasa aneh melihatku terus melakukannya,” lanjut Ami.
Selain sendirian melakukannya, hal lain yang bikin Amida merasa kangen dengan suasana Ramadan Tanah Air adalah nggak adanya jajanan-jajanan khas Lebaran yang biasanya bisa dengan mudah ditemukan di pinggir jalan jelang waktu berbuka.
“Yang dikangenin dari suasana Ramadan di Indonesia banyak. Di sini kan salat sendiri, makan sendiri, masak sendiri, nggak dimasakin ibu. Nggak ada gorengan atau es buah buat takjil. Jadi berbuka atau sahur seperti makan biasa pada umumnya,” ungkap Ami.
Biar lebih praktis, dia mengaku sering menyantap menu sahur berupa mi rebus, telur, dan nasi yang memang kerap jadi andalan orang Indonesia saat merantau di luar negeri itu.
Sesekali, untuk mengobati rasa kangen, Ami bisa mencari restoran Indonesia yang memang banyak ditemukan di Amsterdam. Tapi, tetap saja, karena berada di negeri orang, suasana Ramadan khas Indonesia yang meriah nggak bakal tergantikan.
Semoga bisa segera menyelesaikan studi dan kembali menikmati suasana Ramadan di Tanah Air, ya, Amida! (Arie Widodo/E05)