BerandaHits
Sabtu, 26 Des 2025 15:01

Menurut Sejarah, Secara Ilmiah Melahirkan Bisa Memperpendek Usia Ibu

Ilustrasi: Dalam situasi krisis pangan ekstrem, kehamilan bisa mengurangi masa hidup perempuan. (Psychology)

Melahirkan bisa memperpendek usia ibu bukanlah isapan jempol belaka. Secara ilmiah, risiko itu ada, sebagaimana fakta sejarah yang terjadi di Finlandia.

Inibaru.id - Menjalani peran sebagai seorang ibu acap digambarkan sebagai proses yang menguras energi bagi perempuan; mulai dari kehamilan yang melelahkan, menyusui sepanjang malam, hingga menghadapi tantrum yang nggak berkesudahan.

Inilah yang menjadi alasan kenapa ibu selalu mendapat tempat yang mulia. Namun, tahukah kamu bahwa peran menguras tenaga itu bisa sangat berbahaya jika situasi tersebut terjadi ketika tubuh nyaris nggak memiliki cadangan energi sama sekali?

Dalam situasi bencana kelaparan ekstrem atau perang menahun, kamu mungkin pernah mendengar cerita tentang para ibu yang meregang nyawa di kamp pengungsian lantaran kelelahan. Maka, perlu kamu tahu, dalam kondisi paling ekstrem, perempuan hamil atau ibu menyusui menjadi sosok yang paling rentan.

Sebuah temuan ilmiah dari catatan sejarah Finlandia abad ke-19 sempat menawarkan gambaran dramatis tentang bagaimana tubuh perempuan, dalam kondisi paling ekstrem, harus memilih antara dua hal yang sama-sama vital: bertahan hidup atau melahirkan generasi berikutnya.

Dalam Bencana, Perempuan Paling Rentan

Dua abad lalu, tepatnya pada periode 1866–1868, Finlandia dilanda bencana kelaparan parah. Kondisinya kala itu nggak cuma terjadi penurunan produksi pangan, tapi sebuah krisis yang bahkan hingga merenggut nyawa, memiskinkan desa, dan menyusutkan cadangan energi setiap orang, terutama perempuan.

Dalam konteks inilah para peneliti evolusi sempat meneliti 4.684 perempuan yang hidup pada masa tersebut. Hasilnya, setiap kelahiran selama periode kelaparan ekstrem tersebut telah mengurangi harapan hidup ibu hingga enam bulan.

Pemimpin riset Euan Young dari University of Groningen menyebutkan, peristiwa sejarah yang dia klaim sebagai salah satu krisis pangan paling mengerikan dalam sejarah Eropa modern itu telah membuat proses reproduksi (kehamilan, kelahiran, dan menyusui) berdampak jangka panjang pada tubuh perempuan.

Mengapa demikian? Ini terjadi karena energi yang jumlahnya sangat terbatas di tengah bencana harus dibagi antara mempertahankan kesehatan tubuh dan memelihara kehamilan serta menyusui. Dalam kondisi ekstrem, proses reproduksi menang, tetapi umur ibu menjadi taruhannya.

Tarik Ulur Energi Tubuh

Perlu diketahui bahwa berbeda dengan laki-laki, perempuan harus selalu menghadapi trade-off biologis yang nggak terlihat saat memutuskan untuk bereproduksi. Saat mengandung, tubuh perempuan akan menentukan apakah energi yang dimilikinya digunakan untuk meregenerasi sel atau merawat janin .

Situasi ini tentu menjadi sangat nggak menguntungkan pada masa krisis pangan yang membuat keseimbangan energi terganggu secara drastis. Euan Young menyebut, saat krisis, energi untuk pemulihan tubuh otomatis berkurang.

"Selain energi untuk pemulihan tubuh berkurang, risiko penyakit kronis juga meningkat. Kemudian, ketahanan tubuh akan menurun saat menyusui dan mengasuh anak. Semakin banyak anak, kondisinya akan kian parah," tuturnya.

Young menjelaskan, tarik ulur energi dalam masa reproduktif ini hanya terjadi pada perempuan yang berada pada situasi krisis pangan. Artinya, situasi ekstrem membuat proses alami tubuh berubah, membuat perjuangan bertahan hidup ibu menjadi jauh lebih berat.

Bisakah Terjadi di Era Sekarang?

Satu hal yang kita pelajari dari hasil temuan tersebut adalah bahwa perempuan yang bereproduksi menjadi sosok paling rentan saat terjadi bencana. Situasi ini akan semakin buruk saat dia memiliki lebih banyak anak. Jadi, ada dua hal yang menjadi parameter daya tahan ibu, yakni banyaknya anak dan faktor lingkungan.

Dalam keadaan normal, tubuh mungkin mampu memulihkan energi setelah melahirkan. Namun dalam kelaparan, setiap kehamilan menjadi beban fisik berlipat ganda. Fenomena ini selaras dengan teori evolusi yang menyebutkan bahwa energi tubuh bersifat terbatas.

"Jika energi dialihkan ke reproduksi, regenerasi sel terhambat dan berpotensi mempercepat penuaan. Itulah yang terjadi," tukas Young.

Pertanyaan besar kemudian muncul; apakah pola ini bisa terjadi pada ibu modern di era sekarang? Jawabannya tentu bukan "ya" atau "tidak", tapi tingkat risikonya mungkin akan jauh lebih kecil. Menurut Young, ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

Terbatas, tapi Risiko Tetap Ada

Menurut Young, ada beberapa faktor yang membuat risiko mengalami trade-off biologis itu saat ini jauh lebih kecil, mengingat kondisi para perempuan modern kini relatif lebih baik. Kesehatan ibu dan anak meningkat dan gizi pun jauh lebih baik.

Selain itu, sudah tersedia alat kontrasepsi untuk mengontrol kelahiran yang disertai dengan tolok ukur keluarga ideal yang menyusut (rata-rata dua anak). Proses kehamilan dan pemulihan pasca-melahirkan pun dipantau dengan saksama. Setali tiga uang, risiko kelaparan drastis di banyak negara juga relatif kecil.

“Ketika sistem layanan kesehatan modern berkembang kuat seperti sekarang, risiko itu jauh lebih kecil. Namun, temuan ini tetap relevan untuk negara-negara yang masih mengalami krisis pangan, angka kelahiran tinggi, dan memiliki keterbatasan layanan kesehatan," sebutnya.

Situasi seperti ini, dia melanjutkan, masih rentan terjadi di sebagian Sudan, Somalia, atau Gaza. Dalam situasi seperti itu, pola yang ditemukan dalam sejarah Finlandia bisa saja terulang.

Yang Harus Diperhatikan

Studi ini, Young mengimbuhi, mengingatkan kita pada sesuatu yang sering terlupakan, yakni bahwa kesehatan perempuan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi. Maka, fokusnya bukanlah pada jumlah anak, tapi akses gizi yang memadai dan jarak kelahiran yang sehat.

Adapun dari faktor eksternal, sangat perlu untuk memperhatikan layanan kesehatan reproduksi, dukungan komunitas, serta kebijakan yang melindungi hak kesehatan ibu. Meski potensi ibu modern menghadapi kelaparan kecil, tekanan reproduksi tetap ada apabila dukungan kesehatan kurang memadai.

Penelitian ini membukakan fakta bahwa tubuh perempuan, terutama dalam kondisi ekstrem, bekerja dengan logika biologis yang keras, yakni bahwa ia akan melindungi kehidupan baru yang dikandung, meskipun harus mengorbankan sebagian cadangan untuk diri sendiri.

Meski kini potensi kelaparan sudah sangat kecil, studi ini mengingatkan kita bahwa menjadi ibu bukan sekadar proses emosional, melainkan juga maraton biologis yang membutuhkan energi, waktu pemulihan, dan dukungan lingkungan yang memadai.

Pada akhirnya, yang terpenting bukan berapa banyak anak yang dilahirkan, melainkan seberapa aman dan sehat lingkungan tempat perempuan menjalani perjalanan sebagai ibu tersebut. Sepakat, Gez? (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

PLTN Pertama di Indonesia Ditargetkan Beroperasi 2032, Begini Rincian Rencananya

12 Des 2025

Kenapa Sih saat Foto Paspor Nggak Boleh Senyum? Ini Alasannya

12 Des 2025

Setahun Terakhir, Ada 43 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Jateng

12 Des 2025

Banjir Semakin Parah, Jateng Susun Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

12 Des 2025

Inspirasi Sepekan; dari Kiai Mangrove hingga Aksi 'Warga Bantu Warga' di Kota Lunpia

12 Des 2025

Tanpa Keseimbangan Hulu-Hilir, Banjir Permanen Hantui Pantura Jateng

12 Des 2025

Dua Arca Diduga dari Abad ke-10 Ditemukan di Sragen, Ada Teko Jepang Ikut Terkubur!

12 Des 2025

Kisah Kadjo, Abdi Dalem Muda dari Solo yang Dikirim ke Belgia dan Sukses Jadi Ahli Arloji!

12 Des 2025

Pentingnya Memahami Pencegahan dan Penanganan Pertama Kebakaran

13 Des 2025

Mengapa Semakin Banyak Gen Z yang Kosongkan Profil Instagramnya?

13 Des 2025

Mitigasi Banjir Kota Semarang; Pakai 'Bola GPS' untuk Lacak Titik Penyumbatan Air

13 Des 2025

Tanda-Tanda Awal Autisme pada Bayi dan Balita; Mengapa Deteksi Dini Penting?

13 Des 2025

Soal Ilegal Logging; Prabowo Janji Sikat Habis Pelaku

13 Des 2025

Labeli Angker, Cara Cerdas Leluhur Jaga Pohon?

13 Des 2025

Cantiknya Pemandangan Sawah Hijau di Ubud Semingkir, Banjarnegara

14 Des 2025

Menilik Jejak Legendaris Warung Kopi Wak Nasir di Lasem, Rembang

14 Des 2025

Sambut Tahun Baru dari Lawang Sewu: Sepekan Penuh Musik, Kuliner, dan Pameran Fesyen

14 Des 2025

Kaki Dingin saat Demam Bikin Galau? Boleh Nggak Sih Pakai Kaos Kaki Tebal?

14 Des 2025

Gubernur Luthfi Minta Semua Puskesmas di Jateng Punya Dokter Gigi Spesialis

14 Des 2025

Tips Bikin Status WhatsApp Tidak Buram

15 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: