Inibaru.id - Sebagai fan yang telah mengikuti perjalanan karier penyanyi muda Nadin Amizah sejak awal-awal berkolaborasi dengan Dipha Barus pada 2017, Cecillia Dewi ikut marah mendengar kabar bahwa idolanya itu mengalami pelecehan fisik belum lama ini.
"Aku marah, katanya fans kok gitu? Tapi, aku jauh lebih marah lagi sama warganet yang menganggap pelecehan itu seharusnya nggak perlu dilebih-lebihkan. Padahal, menurutku pelecehan itu nggak mengenal kata 'cuma'. Pelecehan ya pelecehan," ketusnya via DM Instagram, Senin (7/7/2025).
Kisah tentang pelecehan yang dialami Nadin Amizah belakangan memang mencuat di media sosial nggak lama setelah pelantun "Berpayung Tuhan" itu mengungkapkan pengalaman tidak menyenangkannya tersebut saat manggung pada awal Juli 2025 lalu.
Nadin mengaku tubuhnya disentuh paksa oleh penonton. Sebagian warganet turut berempati, tapi banyak pula yang merespons sebaliknya. “Ternyata cuma pegang tangan,” kata salah seorang di antaranya. Sementara, yang lainnya menganggap solois asal Bandung ini sedang mencari sensasi.
Sekilas, pernyataan ini tampak sepele, padahal sejatinya menegaskan satu persoalan krusial: minimnya pemahaman masyarakat Indonesia tentang konsep "consent" atau persetujuan dalam interaksi fisik.
Tiada Kata “Cuma”
Consent adalah izin eksplisit, sadar, dan sukarela dari seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam konteks menyentuh tubuh. Tanpa itu, setiap sentuhan, sekecil apapun, berpotensi menjadi pelanggaran.
Dalam kasus Nadin, tindakan penonton yang menyentuhnya secara paksa bukan hanya melanggar privasinya sebagai individu, tetapi juga mencederai rasa aman sebagai perempuan dan pekerja seni.
“Saya merasa sangat kotor dengan tubuhku sendiri,” tulis Nadin dalam unggahan Instagram-nya beberapa waktu lalu.
Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya tangan yang dipegang. Tapi bagi korban, itu bisa meninggalkan trauma dan rasa bersalah yang berlarut-larut. Sebagai figur publik, perasaan ini bisa semakin besar ketika reaksi publik cenderung menyalahkan atau mengecilkan pengalaman korban.
Hukum untuk Tindak Pelecehan
Salah satu kendala utama dalam menindak kasus semacam ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat, bahkan mungkin aparat, tentang hukum yang mengatur pelecehan fisik ringan, terutama yang nggak disertai kekerasan fisik atau penetrasi seksual.
Padahal, perlu kamu tahu, Indonesia memiliki sejumlah payung hukum yang sejatinya bisa menjerat para pelaku kekerasan seksual ini. Yang pertama adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual UU TPKS No. 12 Tahun 2022.
Undang-undang ini secara tegas mengatur bahwa menyentuh tubuh orang lain tanpa persetujuan dalam konteks seksual adalah tindakan pidana. Pasal 6 dan 7 UU TPKS mengatur bahwa pelaku kekerasan seksual fisik, termasuk menyentuh tubuh tanpa consent, dapat dipidana hingga sembilan tahun penjara.
Aturan kedua adalah KUHP Pasal 252 yang mengatur bahwa perlakuan tersebut bisa termasuk dalam penganiayaan ringan dengan hukuman pidana hingga tiga bulan atau denda ringan jika melanggar integritas tubuh tapi nggak menyebabkan luka berat.
Namun, penerapan pasal ini acap terganjal budaya permisif dan kurangnya edukasi tentang consent, membuat pelaku lolos dari konsekuensi hukum.
Ketika Korban Justru Diserang
Dalam kasus Nadin, bukan hanya tubuhnya yang dilanggar, tetapi juga ruang aman emosional dan psikologisnya. Ironisnya, banyak komentar netizen justru menyalahkan korban. Hal ini disebut sebagai victim blaming, praktik menyudutkan korban atas tindakan yang menimpanya.
Menurut psikolog forensik Kasandra Putranto, stigma ini dapat memperparah trauma korban dan membuat banyak perempuan enggan melapor.
“Korban kekerasan seksual sering kali mengalami gangguan kecemasan, rasa malu yang berlebihan, bahkan depresi, apalagi jika lingkungannya tidak mendukung,” tuturnya pada 2022, dikutip dari CNN Indonesia, Senin (7/7/2025).
Alih-alih menyerang korban, kita seharusnya memahami bahwa setiap orang bisa mengalami situasi yang berbeda-beda atas pengalaman yang dialaminya. Validasi pengalaman korban, jangan justru meremehkan atau membandingkan derajat pelecehan.
Setiap korban berhak merasa nggak nyaman dan terluka, tanpa harus “membuktikan” bahwa yang mereka alami cukup parah. Minimnya pengetahuan ini nggak hanya menciptakan ruang bagi pelecehan terjadi, tapi menjadikan korban terluka dua kali: saat tubuhnya dilanggar dan ketika ceritanya diragukan. (Siti Khatijah/E10)
