BerandaHits
Minggu, 11 Mar 2023 09:23

Kenapa Sebaiknya Kita Menghindari Fast Fashion?

Ilustrasi: Sekarang banyak influencer yang mengajak kita untuk nggak gemar membeli pakaian fast fashion. (Picture alliance)

Ada banyak sekali dampak buruk dari maraknya produksi pakaian besar-besaran atau fast fashion. Yang paling banyak digembor-gemborkan para aktivis adalah dampak lingkungan dan sosial. Lantas, perlukah kita mulai sekarang menghindari produk fast fashion?

Inibaru.id – Para kreator konten ramai-ramai membahas fast fashion di sosial media, sebenarnya apa yang mau mereka katakan? Secara garis besar, para influencer itu mengajak kita untuk pelan-pelan nggak membeli produk fast fashion dan beralih ke low fashion. Kenapa?

Sebelumnya, kita perlu sepakati dulu apa definisi dari fast fashion atau fesyen cepat, ya. Merangkum dari beberapa sumber, fesyen cepat adalah praktik produksi pakaian mulai dari mendesain, kreasi dan pemasaran yang berfokus pada kecepatan produksi agar selalu dapat mengikuti tren fesyen terbaru. Produk fesyen cepat juga biasanya dibanderol dengan harga murah sehingga barang cepat sekali laku.

Menilik sejenak ke belakang, semenjak pertengahan abad kedua puluh, fesyen menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting. Sementara itu, di luar negeri banyak negara yang memiliki empat musim. Nah, tren berganti gaya berbusana sesuai musim menjadi alasan utama industri fast fashion berkembang cepat.

Jika yang kita tahu jenama fesyen biasa meluncurkan tren sebanyak empat kali dalam setahun, fast fashion bisa meluncurkan dua hingga empat tren tiap bulan dalam setahun, atau berarti satu koleksi setiap pekan.

Dampaknya pada konsumen adalah tanpa sadar mereka mengikuti perkembangan tren fesyen yang sangat cepat bergulir. Konsumerisme itu tentu saja berujung pada kepemilikan pakaian di luar batas yang dibutuhkan dan berpotensi menjadi sampah tekstil yang merusak alam.

Nah, dari realita itu, seenggaknya kini ada dua isu yang selalu diutarakan oleh para aktivis terkait bisnis fast fashion ini, Millens. Pertama adalah isu lingkungan, dan kedua adalah isu sosial. Yuk kita ulas satu per satu!

Isu Lingkungan

Ilustrasi: Fast fashlion menghasilkan banyak sekali sampah pakaian. (Zerowaste)

Konsep produksi pakaian secara massal dan cepat mengharuskan ketersediaan bahan baku dalam jumlah besar dan terus-menerus. Hal itu pada akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan seperti pencemaran air, polusi polyester, menghasilkan banyak karbondioksida, dan menghasilkan banyak sampah pakaian.

1. Pencemaran Air

Semakin banyak pakaian diproduksi, semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Kebanyakan negara tempat produk fast fashion dibuat adalah negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Kamboja, termasuk Indonesia, yang nggak memiliki regulasi ketat yang mengatur pembuangan limbah tekstil.

2. Polusi Polyester

Bahan polyester digemari industri fast fashion karena harganya yang murah, menyerap warna dengan baik dan bebas kusut. Sayangnya, bahan sintetis ini mengandung plastik yang dapat melepaskan microplastik ke air ketika dicuci.

3. Menghasilkan Banyak CO2

Industri fast fashion menyumbang 1.2 milliar ton CO2 per tahun atau 10% dari total polusi CO2 di dunia. Dalam proses pembuatan satu buah kaos akan menghasilkan 2.6 kg CO2 dan produksi satu buah celana jeans melepaskan 11.5 kg emisi CO2.

4. Sampah Pakaian

Pada tahun 2020, menurut Fibre2Fashion ada sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir yang kemudian berakhir di laut. Rata-rata, konsumen juga membuang 60% pakaiannya hanya setahun setelah membeli.

Isu Sosial

Ilustrasi: Industri pakaian erat dengan praktik perbudakan modern. (Picture alliance/Nurphoto/M Hasan)

Sudah jadi rahasia umum industri pakaian erat dengan praktik perbudakan modern. Negara berkembang di Asia merupakan gudangnya tenaga kerja garmen yang rela dibayar amat murah dan bekerja di lingkungan yang nggak sehat.

Yang juga menyedihkan adalah banyak jenama yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan ada sekitar 260 juta pekerja anak di seluruh dunia yang bekerja untuk brand-brand besar skala internasional.

Itu dia sisi gelap dari meriahnya dunia fesyen dunia, Millens. Kini pilihan ada benak kamu. Apakah kamu memilih untuk terus mengikuti mode pakaian atau cukup membeli beberapa item yang everlasting? (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024