Inibaru.id - Di laboratorium Macquarie University, Australia, sekelompok ilmuwan mencoba sesuatu yang unik: menciptakan katak tebu (Rhinella marina) albino lewat rekayasa genetik CRISPR-Cas9. Eksperimen ini bukan sekadar iseng, melainkan bagian dari penelitian untuk memahami albinisme pada hewan liar.
Katak tebu dipilih karena statusnya sebagai spesies invasif yang merusak ekosistem Australia. Namun, ketika ilmuwan berhasil “melahirkan” versi albino, mereka justru menemukan sesuatu yang jauh lebih menarik.
“Awalnya kami hanya ingin membuat bukti konsep. Tapi saat memelihara katak albino, kami melihat mereka tumbuh lebih lambat dan tingkat kelangsungan hidupnya lebih rendah dibanding saudara berpigmen. Itu yang akhirnya menginspirasi studi ini,” ungkap Alex Funk, penulis utama riset dari School of Natural Sciences, Macquarie University.
Hidup Lebih Sulit Bagi Katak Albino
Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences menunjukkan bahwa katak albino punya banyak keterbatasan. Mereka nggak hanya tumbuh lebih lambat, tapi juga mengalami gangguan penglihatan serius.
Katak ini butuh cahaya lebih terang untuk berburu, sering gagal menangkap mangsa, dan akhirnya menghabiskan lebih banyak energi. Masalahnya, katak tebu sejatinya hewan malam. Dengan keterbatasan penglihatan, mereka otomatis kalah bersaing, bahkan tanpa kehadiran predator.
“Individu albino tidak bisa menghasilkan melanin yang penting untuk perkembangan retina. Tanpanya, ketajaman penglihatan menurun dan penglihatan stereoskopis terganggu,” jelas Funk, dikutip dari IFLScience.
Lebih dari Sekadar Warna
Ternyata, albinisme bukan hanya soal kulit putih pucat. Kondisi ini juga bikin hewan lebih sensitif terhadap sinar UV, rentan masalah imunitas, bahkan bisa memicu konflik sosial. Kasus tragis pernah terjadi pada 2021, ketika seekor simpanse albino di Uganda dibunuh kelompoknya sendiri karena dianggap berbeda.
Studi ini membuka pemahaman baru: warna tubuh ternyata memengaruhi lebih dari sekadar penampilan. Ia bisa menentukan kemampuan bertahan hidup, strategi berburu, hingga posisi sosial seekor hewan di habitatnya.
Menurutmu, apakah eksperimen seperti ini perlu terus dilakukan demi memahami alam lebih dalam, atau justru berisiko mengganggu keseimbangan ekosistem, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
