BerandaHits
Sabtu, 14 Apr 2023 13:57

Heboh Kasus Penguntit, Bisakah Dia Dijerat Hukum?

Laki-laki berinisial YA sering berbuat onar dan menjadi stalker atau penguntit. (Klikdokter)

Seorang laki-laki bernama YA sudah berulang kali bikin onar di tempat umum. Dia bahkan menjadi penguntit atau stalker dari seorang dokter gigi sampai korban ketakutan keluar rumah. Mengingat pelaku mengalami masalah kejiwaan, apakah bisa dihukum?

Inibaru.id – Seorang laki-laki dengan inisial YA belakangan bikin heboh media sosial karena berkali-kali bikin onar di sejumlah tempat umum. Bahkan, yang bersangkutan diketahui terobsesi dengan seorang perempuan berprofesi dokter gigi hingga menjadi stalker alias penguntit. Yang lebih mengejutkan, YA sendiri mengaku sebagai orang dengan masalah kejiwaan sebagai dalih atas segala keonaran yang dia lakukan.

Sejumlah warganet sampai merangkum kasus-kasus apa saja yang dilakukan YA. Sejauh ini, sudah ada 18 kasus yang terkuak dan dilakukan di stasiun kereta api, kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga di klinik dokter gigi.

Salah satu warganet yang mengungkap kasus tersebut adalah pemegang akun Twitter @mariska_drg. Dia mengunggah video dampak keonaran yang dilakukan YA demi menguntit korbannya.

Saya kenal baik dengan perempuan yang dijadikan obsesi sama YA. Pernah sampai YA datang ke klinik teman saya itu obrak-abrik kliniknya untuk dapetin nomor hp teman saya. Banting barang2 di sana, ngejebolin tembok klinik, sampai ngeludahin perawat dan admin di sana,” tulis akun tersebut pada Kamis (13/4/2023) pukul 7:31 WIB.

Mariska mengaku sudah melaporkan hal ini ke polisi, namun hanya berakhir damai. Alasannya, YA sedang dalam pengawasan dokter kejiwaan. Hal ini membuat korban yang selama ini dikuntit YA menjadi ketakutan untuk berada di tempat umum.

Lantas, apakah memang pelaku penguntit dan tindakan keonaran lainnya nggak bisa dijerat dengan hukum hanya karena mengaku sakit jiwa atau berada dalam pengawasan dokter kejiwaan?

Terdapat aturan hukum untuk mengatasi stalker atau penguntit di Indonesia. (Barisan)

Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakkir menyebut pelaku bisa dilaporkan jika memang menyebabkan kerugian bagi orang lain.

“Kalau memang ada pihak yang dirugikan, bisa melapor ke aparat penegak hukum. Tapi pelapor harus memastikan ada bukti bahwa ada kerugian yang dialami akibat tindakan pelaku,” ungkapnya sebagaimana dilansir dari Era, Kamis (13/4/2023).

Bukti-bukti yang bisa dikumpulkan bisa berupa video aksi penguntit saat melakukan keonaran atau pengancaman, tangkapan layar dari percakapan aplikasi perpesanan yang menunjukkan ancaman atau pemaksaan, rekaman suara, dan lain-lain.

Jika memang bukti tersebut sudah ada, maka bisa dikenakan Pasal 335 ayat (1) angka (1) dan/atau Pasal 358 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara paling lama 1-9 tahun.

Nggak hanya itu, jika ancaman dilakukan lewat aplikasi perpesanan elektronik, pelaku juga bisa dikenakan Pasal 29 UU ITE dengan ancaman penjara maksimal 4 tahun.

Masalahnya, jika pelaku terbukti mengidap gangguan jiwa, sesuai dengan pasal 44 ayat (1) KUHP, nggak bisa dipidana. Hal ini bisa terjadi jika penyidik sampai menemukan bahwa pelaku nggak bisa dimintai pertanggungjawaban karena kondisi kejiwaannya.

Untungnya, jika pelaku dianggap dapat membahayakan korban atau orang lain, sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) KUHP, hakim bisa meminta orang tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa paling lama satu tahun sebagai percobaan.

Nggak hanya itu, polisi juga harus bertanggung jawab melindungi korban yang selama ini terintimindasi.

“Ya harus menjaga dari orang gila itu, atau setidaknya meminta keluarganya agar tidak berkeliaran ke mana-mana,” pungkas Mudzakkir.

Semoga saja kasus YA ini bisa terselesaikan dengan baik agar nggak ada lagi kasus stalker dan pembuat onar yang tetap berkeliaran dan mengganggu orang lain tapi nggak bisa dihukum di masa depan. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT