Inibaru.id - Sesi panel pada hari kedua International Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR) ke-5 pada Kamis (23/11/2023) berlangsung intens. Digelar di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, topik yang diangkat hari itu terbilang krusial.
Mengangkat tema "Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam KUHP yang Baru", sesi panel tersebut memantik isu tentang kebebasan beragama yang ternyata kandas pada KUHP yang baru.
Dalam diskusi, terungkap fakta bahwa masyarakat adat dan penghayat kepercayaan saat ini rentan menjadi target empuk untuk dikriminalisasi. Kenapa? Karena regulasinya lebih cocok untuk kelompok mayoritas.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan narasumber dalam sesi ini, yakni Herlambang P Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Menurutnya, kebebasan berekspresi sedang terancam dengan regulasi-regulasi yang bisa dimanipulasi.
“Kebebasan berekspresi adalah salah satu yang paling terdampak dari konteks politik hukum manipulatif yang dominan hari-hari ini,” ujar Herlambang. “KUHP membuka ruang untuk potensi manipulasi yang lebih sistematis.”
Kritik vs Hasutan Kebencian
Menyambung apa yang dipaparkan Herlambang, Dosen Pascasarjana di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Iqbal Ahnaf pun memberikan data 72 kasus yang terganjal pasal-pasal KUHP selama kurun 2010-2021.
"Kasus-kasus tersebut melibatkan penghinaan terhadap kekuasaan dan ujaran kebencian terkait identitas," terangnya. "Ada 61 kasus penghinaan terhadap kekuasaan dan 11 sisanya ujaran kebencian."
Dalam menghadapi realitas tersebut, Johana Poerba dari Institute for Criminal Justice Reform pun mengajak orang-orang untuk bisa membedakan antara ekspresi kritik terhadap status quo kekuasaan dengan hasutan kebencian.
“Penting untuk bisa membedakannya," seru Johana. “Pasal ujaran kebencian yang bertujuan untuk melindungi kelompok rentan kenapa justru menimbulkan pembatasan-pembatasan terhadap hak mereka?”
Peran Media Sosial
Salah satu poin penting yang turut dibahas dalam sesi ini adalah terkait keberadaan media sosial yang justru acap memberi ruang untuk terjadinya pelanggaran kebebasan berekspresi dan hasutan kebencian. Hal inilah yang sangat disayangkan Leonard C Epafras.
Dosen Pascasarjana di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM ini merasa kecewa karena media sosial justru berperan di dalamnya.
"Media sosial terkesan memberi rewards untuk orang-orang yang menimbulkan konflik dan keramaian," tandasnya.
Pada hari terakhir tersebut, masih berkaitan dengan KUHP yang baru, Konferensi ICIR dilanjutkan dengan sesi panel kedua yang mengangkat tema "Pelanggaran terkait Agama atau Keyakinan dalam KUHP yang Baru: Melindungi Siapa?".
Dimoderatori Direktur CRCS UGM Samsul Maarif, diskusi tersebut menghadirkan pembicara dari Komnas HAM Uli Parulian Sihombing melalui saluran daring serta Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera dan Zainal Bagir dari ICRS UGM yang hadir secara langsung. (Rizki Arganingsih/E10)