Inibaru.id - Orang bilang, era saat ini serba gesit; informasi datang begitu cepat dan kita begitu piawai dengan teknologi kiwari (terkini) yang pesat. Semuanya mudah diakses dengan jempol di balik layar; seolah-olah kita bisa bekerja, belajar, bahkan hidup hanya dengan duduk menyanding gawai sambil rebahan.
Ingar-bingar itu membuat kita acap lupa satu hal sederhana, yakni fakta bahwa mesin tak pernah benar-benar bisa memimpin. Ia hanyalah navigator, sedangkan manusialah yang seharusnya tetap menjadi nakhoda untuk mengarungi lautan informasi yang penuh gelombang ini.
Itulah napas utama buku Evolusi Jari, sebuah karya kolaboratif antara Saur Hutabarat, jurnalis senior empat dekade yang telah menulis sejak masa mesin tik, dengan Ikhwan Syaefulloh, context engineer yang sehari-hari mengakrabi akal imitasi (AI), algoritma, dan cloud.
Dua generasi ini dipertemukan oleh dua pertanyaan yang sangat dekat dengan hidup kita hari ini, yaitu ke mana pikiran manusia akan dibawa oleh jari-jari yang kini bekerja lebih cepat daripada otak? Bisakah pemikiran lama diperbaharui dengan polesan teknologi?
Teknologi Bukan Ancaman, Tapi Ujian Kecerdasan
Buku ini membuka dengan sebuah kesadaran tajam: setiap zaman punya “jarinya” sendiri. Dari pena, mesin tik, keyboard, hingga AI; semua itu hanyalah alat. Namun, menurut Saur, alat secanggih apa pun tak akan pernah melampaui kedalaman pikir manusia yang memegangnya.
Bahwa menulis adalah kerja jari, tetapi berpikir adalah kerja manusia; itulah yang membuat buku ini terasa seperti teguran lembut bagi generasi yang kerap tergesa-gesa mengejar efisiensi.
Pada awal-awal bab, buku terbitan Pustaka Pranala yang cetak perdana pada November 2025 ini langsung menyajikan salah satu pembahasan Saur yang paling memikat, yakni tentang “kesintingan”; bukan dalam arti kehilangan nalar, melainkan keberanian meninggalkan kenyamanan.
Sejarah manusia, tulisnya, bukan digerakkan oleh mereka yang patuh pada tata tertib, tetapi yang cukup berani menabrak batas. Nama-nama seperti Albert Berry, Charles Darwin, Van Gogh, hingga Affandi dihadirkan bukan sebagai legenda seni dan sains, tapi simbol bahwa perubahan besar lahir dari keberanian mengambil risiko; bahkan kegilaan kecil yang terukur.
Dalam konteks gaya hidup modern, pemikiran dalam opini bertajuk "Bangsa Ini Perlu Kesintingan" ini terasa relevan untuk zaman sekarang. Ya, karena biasanya kreativitas justru tumbuh ketika kita berani sedikit "menyimpang" dari jalur aman, bukan?
Tak Melulu tentang Teknologi
Tidak semua isi buku ini berurusan dengan teknologi. Buku ini juga berisikan pemikiran Saur tentang kritik sosial dan moral, hukum dan ketidakadilan, negara dan pemerintahan, politik dan manipulasi, budaya dan pluralitas, hingga refleksi diri dan spiritualitas yang sangat personal.
Ada satu bagian dalam bab yang disebutkan terakhir itu yang begitu menohok. Melalui kisah sederhana tentang kain kafan, Saur membedah kesombongan: bahwa harga diri tak bisa dibeli dan kerendahan hati jauh lebih tahan lama daripada reputasi yang dipamerkan.
Di tengah budaya pamer dan konsumsi simbolik, bab ini seperti jeda sejenak untuk menarik napas yang dalam. Bab ini juga menjadi semacam rehat sejenak dari rentetan bab penuh kritik konstruktif dalam buku setebal 343 halaman tersebut.
Saur, dalam satu bab berisikan sembilan judul tersebut, seolah mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal impresi, tetapi kejujuran manusia terhadap dirinya sendiri. Pemikiran ini menarik dan mudah dipahami karena disajikan dengan kalimat pendek, padat, dan lugas, tapi tetap memikat pembaca.
Hampir setiap tulisan memang disajikan demikian; bukan dalam kalimat-kalimat panjang puluhan paragraf yang membosankan dan sulit dipahami. Ikhwan sepertinya memahami karakter pembaca saat ini yang menyukai bahasa pendek tapi artistik yang bisa langsung dikutip dan mungkin dijadikan status di medsos.
Untuk cara penyajian, tak muluk-muluk jika buku yang rencananya akan tersedia di sejumlah toko buku termasuk Gramedia mulai awal Desember 2025 ini diganjar skor 9/10. Tiap judulnya menginspirasi dan nyaman dibaca sekali duduk, Gez!
Tentang Saur Hutabarat
Bagaimana dengan keseluruhan isi dari Evolusi Jari ini? Sebagai salah satu tokoh penting dunia pers Indonesia yang berkarier lebih dari empat dekade, Saur berhasil mencuplik peristiwa-peristiwa penting di Indonesia dengan baik, tentu saja dari sudut pandang pribadinya.
Sedikit informasi, lelaki bernama lengkap Saur M Hutabarat ini merupakan jurnalis yang pernah menempati posisi puncak di beberapa media arus utama. Dia aktif menulis opini dan analisis seputar politik dan kehidupan publik.
Memulai karier jurnalistik profesional pada awal 1980-an, Saur bekerja di sejumlah penerbit besar, termasuk Majalah Tempo. Kariernya terus naik hingga pernah menjabat sebagai redaktur dan pemimpin redaksi di sejumlah media arus utama.
Saat ini Saur tercatat sebagai Ketua Dewan Redaksi Media Group, grup media yang menaungi beberapa media cetak dan digital serta stasiun televisi berita kenamaan Indonesia seperti Medcom, Metro TV, dan Media Indonesia.
Atas dedikasinya dalam dunia jurnalistik, Saur pernah mendapatkan penghargaan berupa tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya dari Presiden Republik Indonesia; menjadi sebuah pengakuan formal atas kontribusinya di bidang pers dan pengayaan ruang publik.
Dalam tulisan-tulisan opini dan editorialnya, Saur kerap mengangkat isu-isu tata kelola publik, fungsi pers, dan peran intelektual dalam kehidupan berbangsa; yang selalu menekankan pentingnya profesionalisme, kredibilitas, dan peran media sebagai “barometer kebenaran” dalam menghadapi arus informasi cepat dan hoaks.
Selama ini, Saur rutin meublikasikan buah pikirnya melalui kanal pribadinya maupun platform Media Group, termasuk di media daring seperti Inibaru.id. Koleksi tulisannya mencakup esai, analisis politik, dan editorial yang merefleksikan pandangannya tentang perkembangan demokrasi, kebijakan publik, dan etika jurnalistik.
Buku Evolusi Jari merupakan karya cetak pertama Saur yang berisikan puluhan opini pribadinya yang termuat di pelbagai plaform, baik daring maupun luring, yang diolah menggunakan kecerdasan buatan bekerja sama dengan Prompt and Context Engineer Ikhwan Syaefulloh.
Mengapa Buku Ini Penting untuk Dibaca
Buku ini cukup berat karena banyak menyoal isu sensitif di Indonesia, mulai dari politik, hukum, pemerintahan, hingga pluralitas yang menjadi persoalan serius di negeri ini. Buku ini juga cukup tebal. Namun, gaya penyampaian yang santai dan mudah dipahami sembari ngopi di warmindo, berkereta, bahkan menunggu jemputan ojol di depan rumah, membuatnya layak untuk dimiliki.
Di tengah kecemasan akan AI, kecepatan informasi, dan budaya viral, Evolusi Jari menawarkan sesuatu yang jarang, yakni tentang kebijaksanaan lintas generasi menyoal bagaimana manusia harus hidup, berpikir, dan mengambil keputusan di era serba-digital.
Buku ini relevan untuk para kreator konten yang tengah memadukan kreativitas dan kecerdasan mesin, pekerja digital yang setiap hari berhadapan dengan layar, mahasiswa yang tumbuh di era algoritma, atau siapa pun yang ingin menjadi manusia yang tetap utuh di tengah gempuran teknologi.
Terakhir, Evolusi Jari juga akan sesuai untuk pembaca yang tengah mencari jadi diri di tengah gelombang pasang informasi, karena dalam buku tersebut Saur akan banyak bercerita tentang bagaimana dia beradaptasi dengan era saat ini.
Dalam buku tersebut, ada satu kalimat yang sangat menarik, yakni: “Dulu, mulutmu harimaumu. Kini, jarimu harimaumu!” Pesan moralnya, zaman banyak berubah, tapi aturan tetaplah sama. Nalarlah yang pada akhirnya akan menyelamatkan kita; bukan teknologi, apalagi perubahan algoritma! (Siti Khatijah/E03)
