Inibaru.id - Sejak suaminya kena PHK sekitar enam bulan lalu, kondisi keluarga Nisa (nama samaran) kian terpuruk. Namun, perempuan 29 tahun asal Pekalongan itu belum berani menerima tawaran pekerjaan dari temannya yang mampir dua bulan setelahnya.
Alasannya, dia masih sulit meninggalkan anaknya yang kini sudah berusia tiga tahun. Meski ada suaminya di rumah, Nisa mengatakan, anaknya hanya mau diurusi oleh dirinya, mulai dari makan, mandi, hingga bermain.
"Jangankan bekerja, ditinggal pergi ke pasar dekat rumah saja dia sudah nangis histeris. Memang sejak lahir sampai sekarang nempelnya sama saya, nggak mau sama bapaknya," tutur Nisa via pesan telpon, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, ketidakhadiran suaminya dalam pengasuhan membuat buah hatinya itu merasa asing saat berada di dekat ayahnya sendiri. Meski tiap 1-2 minggu bertemu, Nisa menilai, sosok ayah nggak benar-benar melekat dan menjadi bagian darinya.
"Awalnya saya kasihan karena bukan keinginan dia (suami) untuk jauh dari kami. Tapi, sekarang jadi sebal karena ternyata setelah LDR juga dia nggak bisa menjalin kedekatan dengan anak; sibuk dengan dunianya sendiri," serunya, ketus.
Merugikan Pasangan
Nggak hanya buruk anak, menurut Nisa, dalam kasus dirinya, ketidakhadiran ayah atau yang populer disebut fatherless adalah fenomena yang juga merugikan dirinya sebagai pasangan.
"Sebelum punya anak, saya kerja; terus resign untuk mengasuh anak. Sekarang kebalik, saya ada tawaran pekerjaan, sedangkan suami di rumah, tapi ternyata peran itu (mengasuh anak) belum bisa diambil suami," ucapnya dengan nada pelan, pasrah.
Perlu kamu tahu, situasi yang dialami Nisa ini juga banyak dialami perempuan lain di Indonesia. Sebagaimana kita tahu, fenomena ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga masih menjadi persoalan sosial yang pelik di Indonesia.
Berdasarkan data terbaru, sekitar 15,9 juta anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kehidupan mereka. Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak hidup tanpa ayah sama sekali. Sementara, 11,5 juta anak memiliki ayah yang terlalu sibuk bekerja sehingga nggak bisa hadir secara emosional dalam keseharian.
Padahal, menurut para ahli, peran ayah sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri, moralitas, dan kecerdasan emosional anak. Kehadiran ayah bukan hanya sebatas fisik, tetapi juga keterlibatan emosional dalam proses tumbuh kembang anak.
Karena Tuntutan Pekerjaan
Dikutip dari laman resmi UGM, Dekan Fakultas Psikologi UGM Rahmat Hidayat mengatakan, ketidakhadiran ayah seringkali disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi. Padahal, keberadaan mereka dibutuhkan dalam proses utama pembelajaran anak; yakni observasional, behavioral, dan kognitif.
Dalam pembelajaran observasional, anak belajar dengan meniru perilaku orang lain. Karena itu, ayah berperan penting sebagai role model yang akan ditiru anak.
“Anak belajar melihat, mengamati, dan menirukan. Proses ini sudah ada sejak masa kecil dan berlanjut seterusnya. Karena itu, penting siapa yang menjadi role model-nya,” jelas Rahmat, dikutip Jumat (17/10).
Sementara, dalam pembelajaran behavioral, anak belajar melalui kebiasaan dan penguatan perilaku lewat reward dan punishment. Di sini, ayah menjadi sosok otoritatif yang menetapkan batasan, memberi penghargaan, atau melakukan koreksi terhadap perilaku anak.
"Adapun dalam pembelajaran kognitif, ayah berperan sebagai pengarah berpikir dan pembentuk nilai melalui dialog dan komunikasi yang hangat untuk membantu anak memahami nilai moral dan berpikir kritis," tegasnya.
Anak Butuh Figur yang Lengkap
Rahmat menjelaskan, ketiga elemen belajar ini membutuhkan figur yang lengkap. Artinya, ketiadaan sosok ayah akan menghilangkan satu model peran penting dalam proses belajar anak. Secara terbatas, peran ini mungkin bisa digantikan oleh sosok lain seperti ibu, guru, atau keluarga besar, tapi nggak bisa maksimal.
"Penting bagi ayah untuk menjaga hubungan emosional dengan anak, terutama jika keduanya terpisah jarak. “Ayah yang tidak bisa membersamai anak karena urusan pekerjaan justru bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak, asalkan hubungan keduanya tetap hangat."
Menurutnya, fenomena fatherless saat ini nggak bisa dilepaskan dari akar struktural. Kurang meratanya lapangan kerja membuat para ayah acap terpaksa LDR dengan buah hatinya.
“Kehadiran ayah secara emosional sangat bergantung pada stabilitas sosial dan ekonomi keluarga. Ketika tekanan ekonomi tinggi dan pekerjaan menuntut mobilitas besar, interaksi emosional antara ayah dan anak cenderung berkurang,” tandasnya.
Perlu diketahui, menikah dan memiliki anak bukanlah fase alamiah yang semua orang bisa menjalaninya tanpa perlu belajar. Butuh kesiapan, kerja sama, dan pemahaman peran masing-masing untuk menghadapi fase yang akan menentukan masa depan buah hati kita ini, bukan? (Siti Khatijah/E10)
