Inibaru.id - Demi meningkatkan kesadaran dan empati terhadap korban peperangan masa lalu, Ereveld Kalibanteng Semarang belum lama ini menggelar tour dan diskusi bertajuk "Menjembatani Generasi: Memahami Perang, Menumbuhkan Perdamaian".
Sedikit informasi, Ereveld Kalibanteng adalah permakaman Belanda yang menjadi tempat bersemayamnya ribuan jenazah yang mayoritas anak dan perempuan berkebangsaan Negeri Kincir Angin yang menjadi korban perang saat Jepang menduduki Nusantara pada 1942-1945.
Hari masih cukup pagi ketika saya bersama sekelompok kecil orang diajak berkeliling permakaman Ereveld Kalibanteng. Sembari mendengarkan ulasan yang disampaikan pemandu, kami menyusuri tiap sudut permakaman yang terasa sejuk dan asri ini mulai dari sisi selatan menuju utara.
Di permakaman yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Semarang Barat ini, ada sejumlah aturan yang harus dipatuhi pengunjung, salah satunya dilarang memotret nama yang tertera di batu nisan dari jarak dekat. Mungkin untuk melindungi identitas korban.
Trauma Orang Belanda
Kita semua tahu bahwa peperangan sebelum Indonesia telah menorehkan luka mendalam bagi para bumiputera, baik secara fisik maupun mental. Namun, nggak banyak yang mengetahui bahwa kondisi traumatik juga dialami warga Belanda yang tingggal di Nusantara kala itu.
Hal ini sebagaimana dikatakan Siti Juwindasari, salah seorang pemandu yang membersamai kelompok kami. Siti mengatakan, pada masa penjajahan Jepang di Nusantara, warga Belanda adalah orang-orang yang paling menderita kala itu.
"Kita trauma (akibat perang) juga, tapi yang mereka alami benar-benar luar biasa pedih," lontarnya. "Waktu itu, orang Belanda tinggal dan disatukan dalam satu kamp. Semula sekeluarga ditaruh di situ, lalu dipisah-pisah hingga tidak tahu anggota keluarganya masih hidup atau tidak."
Siti menambahkan, dalam situasi tersebut, anak dan perempuan menjadi pihak yang paling banyak terdampak. Karena itulah di permakaman ini kamu bisa melihat sejumlah patung, di antaranya anak kecil bertubuh kurus serta dua perempuan yang tengah menggandeng anak kecil.
"Kalau pas ada keluarga Belanda datang ke Ereveld Kalibanteng, kami kadang mengirim surat ke Penerbad, meminta mereka menunda pelatihan penerbangan, karena sebagian dari mereka kadang masih trauma mendengar suara helikopter," jelasnya.
Dampak Peperangan
Setengah jam berkeliling, kami dipersilakan beristirahat di pendopo Ereveld Kalibanteng sembari mendiskusikan dampak peperangan kala itu. Dalam diskusi, General Director Oorlogsgravenstichting, yayasan yang menaungi Evereld Kalibanteng, Theo Vleugels menekankan pentingnya empati untuk mencegah peperangan kembali terjadi.
"Mendiskusikan peperangan di tempat seperti ini (permakaman) sangatlah penting, karena kita bisa melihat langsung dampak dari konflik tersebut. Jadi, siapa saja boleh menggelar diskusi di sini," ungkap lelaki yang akrab disapa Theo tersebut.
Dia menambahkan, peperangan bisa terjadi kapan saja. Nah, untuk mencegahnya, dunia membutuhkan pemimpin yang memiliki empati dengan memikirkan dampak buruknya terlebih dulu; merugikan warga sipil atau nggak?
"Konflik itu tidak hitam-putih; ada aspek abu-abu di dalamnya, tapi yang jadi korban tetaplah warga sipil. Konflik muncul karena kesalahan, maka jangan sampai generasi selanjutnya melakukan kesalahan yang sama," tandas Theo.
Berdiri di tengah-tengah para korban perang bersemayam, saya menjadi sangat sedih sekaligus bersyukur. Sedih, karena ancaman peperangan masih bisa datang kapan saja. Namun, saya juga bersyukur karena empati masih ada di tengah-tengah kita. (Fitroh Nurikhsan/E03)