BerandaAdventurial
Senin, 26 Okt 2025 15:01

'Ziarah Literasi' Tjondronegoro IV; sang Cendekiawan yang Melampaui Zaman

David Nova, storyteller yang memandu acara (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Berziarah sekaligus mengulik sejarah di Pasarean Sidomukti, Kudus, membuka kembali kisah Pangeran Ario Tjondronegoro IV, bupati Kudus visioner sekaligus cendekiawan yang melampaui zaman dengan menyalakan semangat kemajuan melalui ilmu pengetahuan.

Inibaru.id - Akhir pekan lalu, matahari baru saja merayap dari balik atap rumah-rumah tua di Kaliputu. Udara lembap membawa aroma kenanga dari arah Pasarean Sidomukti, tempat sejumlah orang mulai berdatangan membawa bunga, buku catatan, dan kamera.

Mereka bukan peziarah biasa; mereka datang dengan niat membaca ulang sejarah. Di depan cungkup bercat putih gading, terbentang selembar kain bertuliskan “Ziarah Tjandranegaran: Menelusuri Jejak Ilmu dan Kemajuan di Kudus”.

Acara ini diinisiasi oleh tiga komunitas sejarah dan budaya, yakni Mooi Koedoes, Lelana Kudus, dan Pojok Kliping, yang selama ini aktif merawat ingatan lokal melalui kegiatan literasi, penelitian arsip, dan tur edukatif. Mereka sengaja memilih Sidomukti sebagai salah satu akar kemajuan Jawa yang pernah ditanam.

“Ziarah ini bukan untuk menangisi masa lalu,” ujar David Nova, storyteller yang memandu acara. “Kita datang untuk menimba semangat dari seorang tokoh yang melihat ilmu pengetahuan sebagai jalan pembebasan, bukan pengkhianatan terhadap bangsanya.”

Ini merujuk pada sosok Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Kudus dan Demak pada pertengahan abad ke-19, yang dalam catatan sejarah dikenal sebagai bangsawan Jawa pertama yang menyambut datangnya peradaban Barat dengan kepala tegak.

Dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer, ia bukan blandis, bangsawan yang menjilat atau tunduk pada pemerintah kolonial. Dia memilih berdialog dengan zaman.

Tentang Tjondronegoro IV

David Nova, storyteller yang memandu acara (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Suasana Sidomukti pagi itu terasa seperti ruang belajar terbuka. Di bawah rindang pepohonan, David memulai kisahnya dengan suara tenang tapi dalam; tentang Tjondronegoro IV. yang nama kecilnya adalah Raden Bagus Minoto.

"Ia putra kedua Ario Tjondronegoro III, Bupati Pati yang kemudian memimpin Kudus pada 1830–1834. Dari keluarganya inilah trah Tjandranegaran dikenal; sebuah keluarga yang kelak menurunkan para pemikir, penggerak kebudayaan, hingga tokoh pembaharu seperti Raden Ajeng Kartini,” terangnya panjang lebar.

Para peserta—sebagian besar anak muda dan guru sejarah—mencatat setiap detail. Ada yang memotret relief nisan, ada pula yang merekam narasi dengan ponsel. Seorang peserta asal Kudus berbisik lirih, “Aku baru tahu kalau kakek Kartini dimakamkan di sini."

Maklum jika peserta itu baru tahu, sebab selama ini Kudus hanya dikenal lewat Sunan Kudus atau kretek. David kemudian menuturkan kisah Minoto muda sebelum menyandang gelar Tjondronegoro IV; di mana dia pernah menjadi wedana di Distrik Undakan dan Prawata.

"Kala itu, wilayah tersebut diterjang banjir besar akibat luapan Sungai Lusi. Ladang gagal panen, paceklik melanda, dan rakyat menderita. Dari peristiwa itu, Minoto belajar makna kepemimpinan sejati; memahami penderitaan rakyat bukan dari kursi bupati, melainkan dari lumpur sawah dan jerit petani," jelasnya.

Menjadi Bupati, Menggantikan sang Ayah

Peserta sedang di pandu David Nova, storyteller yang memandu acara (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Ketika akhirnya menggantikan ayahnya sebagai Bupati Kudus, masa itu bertepatan dengan diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Tjondronegoro IV sadar, rakyatnya menjadi korban paling menderita dari kebijakan kolonial tersebut.

"Namun, sebagai pejabat lokal di bawah Gubernemen," David melanjutkan cerita, "ia tidak memiliki kuasa untuk mengubah sistem. Maka, ia memilih jalan lain, yaitu menyalakan obor pengetahuan."

Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer menulis bahwa Tjondronegoro IV adalah bangsawan Jawa pertama yang “berkarib dengan tamu dari seberang lautan.” Bagi Pram, langkah itu bukan bentuk tunduk, melainkan siasat untuk menyelamatkan rakyatnya dari kebodohan dan keterbelakangan.

Ia sadar, melawan kolonialisme dengan senjata tidak akan membawa kemenangan. Namun, dengan ilmu pengetahuan, masa depan dapat diselamatkan. Dari situ David segera menyambung cerita dengan kutipan yang dia temukan dari wawancara PAA Djajadiningrat dengan Ario Hadiningrat, putra Tjondronegoro IV.

“Ayah saya,” kata David, mengilustrasikan Hadiningrat, “telah memahami keadaan jauh sebelum pemerintah memikirkan pendidikan pribumi. Tahun 1846, ketika sekolah-sekolah untuk bumiputra belum ada, beliau sudah mengirim kami belajar dan bahkan mendatangkan guru Belanda ke rumah.”

Mendirikan Kelas di Rumah

Hidayat salah satu storyteller sedang menjelaskan arti dari nisan Tjondronegoro IV (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Menurut David, guru Hadiningrat bernama CE van Kasteren, sosok yang kemudian mengajari bahasa Belanda, Prancis, dan Inggris kepada anak-anak bupati Kudus.

“Bayangkan,” ujar David, “di masa ketika kebanyakan bangsawan Jawa masih sibuk memelihara gelar dan kereta kencana, Tjondronegoro IV justru sibuk membeli buku dan mendirikan kelas di rumah. Ia ingin keturunannya kelak bisa berbicara dengan dunia.”

Para peserta terdiam. Di antara mereka, Hadi Wicaksono, anggota komunitas Lelana Kudus, mengangguk pelan. “Kita sering lupa, perlawanan terhadap kolonial tidak selalu berupa perang. Ada perlawanan yang lebih sunyi tapi abadi, misalnya seperti membangun pengetahuan ini.”

Bukti nyata keberhasilan visi itu tampak beberapa dekade kemudian. Dari trah Tjondronegoro IV lahir generasi yang membawa semangat pembaruan. Salah satunya Raden Ajeng Kartini, cucu kesayangannya, yang menulis surat-surat terkenal tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan Jawa.

Semangat “kemajuan melalui pengetahuan” yang diwariskan Tjondronegoro IV berbuah menjadi kesadaran emansipasi yang terus berdetak hingga masa sekarang.

Ziarah yang Menyalakan Kesadaran

Sesi ziarah berlanjut dengan obrolan terbuka. Di bawah langit yang mulai terik, peserta duduk bersila di halaman pasarean. Beberapa membuka buku catatan, sebagian lain menyesap kopi yang dibawa dari rumah.

“Mengapa Mooi Koedoes, Lelana Kudus, dan Pojok Kliping memilih melakukan ziarah semacam ini?” tanya seseorang dari barisan belakang.

David tersenyum. “Karena kita tidak bisa memisahkan sejarah dari ruang hidup. Ziarah bukan hanya untuk mendoakan yang mati, tapi untuk menyalakan yang hidup, yakni kesadaran kita hari ini.”

Dia menjelaskan, ziarah Tjandranegaran merupakan bagian dari gerakan literasi yang memadukan riset arsip, penceritaan sejarah, dan eksplorasi ruang-ruang lokal di Kudus. Setiap tahun, komunitas-komunitas ini memilih tokoh atau situs sejarah untuk dikunjungi bersama, dibaca ulang, dan diceritakan kembali dalam bahasa populer agar mudah diakses generasi muda.

“Kalau di kota lain orang belajar sejarah lewat museum, di Kudus kita bisa belajar lewat makam,” tambah Hidayat dari Lelana Kudus. “Karena setiap nisan di sini punya narasi yang bisa menuntun kita memahami siapa diri kita.”

Refleksi di Depan Makam

Sesi diakhiri dengan refleksi di depan makam keluarga Tjondronegoro. Setiap peserta menerima sehelai bunga kenanga untuk ditaburkan. Ketika giliran terakhir tiba, David Nova melangkah pelan ke depan, menundukkan kepala, dan berucap lirih.

“Raga boleh tiada, tapi api yang beliau nyalakan tidak pernah padam,” bisiknya.

Hening. Hanya bunyi dedaunan yang bergerak pelan disapu angin. Beberapa peserta memotret batu nisan berlumut, sebagian lain menulis catatan pendek di kertas kecil lalu menyelipkannya di sela bebatuan.

Ziarah berakhir, tapi percakapan tidak. Di pelataran luar makam, peserta masih berdiskusi tentang hubungan antara pendidikan, kekuasaan, dan kolonialisme. Semua tampak larut dalam kesadaran baru; bahwa Kudus nggak hanya melahirkan wali dan pengusaha, tetapi juga cendekiawan melampaui zamannya.

Menjelang siang, rombongan meninggalkan Sidomukti. Matahari menyorot lembut di sela pepohonan. Di kejauhan, suara azan Zuhur terdengar menggema, seolah menyambut para peziarah yang baru menuntaskan perjalanan kecil mereka.

Mungkin, makna terdalam dari berziarah adalah seperti ini: menengok kematian sebagai masa depan sekaligus melongok sejarah sebagai bagian dari masa lalu. Tertarik untuk melakukannya juga nggak, Gez? (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Rampcheck DJKA Rampung, KAI Daop 4 Semarang Pastikan Layanan Aman dan Nyaman Jelang Nataru

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: