Inibaru.id - Siang yang terik membuat cat merah yang mendominasi warna dinding Klenteng Tjoe An Kiong (Cu An Kiong) di Lasem, Kabupaten Rembang, tampak lebih menyala. Angin yang kering sesekali menyapu halaman klenteng yang lengang dan agak berdebu.
Dengan tiang-tiang penyangga dari kayu jati yang tampak telah termakan usia, klenteng tertua di Lasem ini seperti nyonya tua yang gemar berolahraga; renta, tapi tetap anggun dan teguh berdiri di atas kedua kakinya. Sekali melihat, kita memang pasti tahu bahwa tempat suci tersebut telah lama didirikan.
Hal tersebut juga sempat disampaikan Hidayat, seorang pemandu wisata setempat yang mendampingi kedatangan kami baru-baru ini. Lelaki bertopi itu mengatakan, menurut catatan sejarah, Klenteng Tjoe An Kiong telah berdiri sejak berabad-abad lalu.
“Dulu,” ucap Hidayat, mengenang ihwal mula berdirinya klenteng ini, “para pelaut Tionghoa datang (ke Lasem), lalu membangun klenteng ini sebagai bentuk syukur."
Ditopang Kayu Jati
Sembari berkeliling klenteng, Hidayat mulai menceritakan bahwa para pelaut TIonghoa memilih jati yang banyak tumbuh di hutan alih-alih kayu dari kapal mereka untuk menopang klenteng pemujaan terhadap Dewi Samudra Tian Siang Sing Bo (Tian Shang Sheng Mu) yang telah melindungi mereka selama berlayar tersebut.
"Waktu itu Lasem masih berupa hutan jati yang lebat," terangnya. "Orang Tionghoa-lah yang kali pertama membuka wilayah ini hingga menjadi desa dan ramai dihuni para pedagang; lalu datanglah Belanda mengusik kedamaian mereka, kemudian disusul tentara Jepang (yang melakukan hal serupa)."
Meski usia ratusan tahun telah memakan sebagian kayu jati penyangga tiang utama, saya melihat kondisi klenteng ini tampak baik-baik saja. Bahkan, menurut penuturan Hidayat, bangunan tersebut nggak banyak mengalami perubahan, kecuali tambahan-tambahan kecil di kiri, kanan, dan ruang depan.
"Renovasi besar terakhir dilakukan pada 1838, ketika lantai klenteng ditinggikan untuk menghindari genangan air dari Sungai Lasem yang sering meluap," jelasnya.
Bersisian dengan Sungai Lasem
Sungai Lasem berjarak sekitar sepelemparan batu dari klenteng yang berlokasi di Jalan Dasun, Desa Soditan, Kecamatan Rembang ini. Padahal, menurut Hidayat, dulunya sungai tersebut cukup lebar hingga tepiannya tepat berada di depan klenteng, mengalir di sepanjang permukiman Tionghoa di Lasem.
“Namun, untuk kebutuhan pengangkutan kayu, tentara Jepang mempersempit sungai, merobohkan rumah-rumah, dan menutup akses dengan kayu-kayu,” paparnya sembari menunjukkan bentangan sungai yang mengalir hingga Laut Jawa itu.
Berdasarkan berbagai catatan sejarah yang dipelajari Hidayat, dia memperkirakan klenteng yang berlokasi nggak jauh dari bangunan ikonik Rumah Candu ini telah berdiri pada 1477. Namun, sejarawan nggak bisa memastikannya karena ada beberapa catatan yang hilang dicuri Belanda pada masa penjajahan.
"Sudah ratusan tahun berdiri, tapi klenteng ini masih tetap hidup dan menjadi tempat berkumpul warga. Tiap tanggal 23 bulan 3 Kalender Tionghoa, orang-orang biasa datang untuk melihat pertunjukan wayang kulit, klonengan, dan gamelan di sini," tutupnya saat mengawal kami keluar klenteng.
Jika Lasem acap disebut sebagai Tiongkok Kecil, maka Klenteng Tjoe An Kiong adalah jantungnya; karena mungkin di sinilah semuanya bermula. Saya merasa beruntung pernah menyambanginya. Jadi, kalau kamu punya waktu berjalan-jalan ke Lasem, mampirlah ke sini, Millens! (Imam Khanafi/E03)