BerandaAdventurial
Selasa, 16 Des 2024 13:40

Rumah Pemujaan Dewi Samudra dan Klenteng Tertua di Lasem: Tjoe An Kiong

Seorang pengunjung sedang berswafoto di depan Klenteng Tjoe An Kiong. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sebagai rasa syukur terhadap Dewi Samudra, para pelaut Tionghoa yang berhasil melabuhkan kapal mendirikan rumah pemujaan yang kini dikenal sebagai klenteng tertua di Lasem, Tjoe An Kiong.

Inibaru.id - Siang yang terik membuat cat merah yang mendominasi warna dinding Klenteng Tjoe An Kiong (Cu An Kiong) di Lasem, Kabupaten Rembang, tampak lebih menyala. Angin yang kering sesekali menyapu halaman klenteng yang lengang dan agak berdebu.

Dengan tiang-tiang penyangga dari kayu jati yang tampak telah termakan usia, klenteng tertua di Lasem ini seperti nyonya tua yang gemar berolahraga; renta, tapi tetap anggun dan teguh berdiri di atas kedua kakinya. Sekali melihat, kita memang pasti tahu bahwa tempat suci tersebut telah lama didirikan.

Hal tersebut juga sempat disampaikan Hidayat, seorang pemandu wisata setempat yang mendampingi kedatangan kami baru-baru ini. Lelaki bertopi itu mengatakan, menurut catatan sejarah, Klenteng Tjoe An Kiong telah berdiri sejak berabad-abad lalu.

“Dulu,” ucap Hidayat, mengenang ihwal mula berdirinya klenteng ini, “para pelaut Tionghoa datang (ke Lasem), lalu membangun klenteng ini sebagai bentuk syukur."

Ditopang Kayu Jati 

Hidayat menunjukan foto lawas Klenteng Tjoe An Kiong. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sembari berkeliling klenteng, Hidayat mulai menceritakan bahwa para pelaut TIonghoa memilih jati yang banyak tumbuh di hutan alih-alih kayu dari kapal mereka untuk menopang klenteng pemujaan terhadap Dewi Samudra Tian Siang Sing Bo (Tian Shang Sheng Mu) yang telah melindungi mereka selama berlayar tersebut.

"Waktu itu Lasem masih berupa hutan jati yang lebat," terangnya. "Orang Tionghoa-lah yang kali pertama membuka wilayah ini hingga menjadi desa dan ramai dihuni para pedagang; lalu datanglah Belanda mengusik kedamaian mereka, kemudian disusul tentara Jepang (yang melakukan hal serupa)."

Meski usia ratusan tahun telah memakan sebagian kayu jati penyangga tiang utama, saya melihat kondisi klenteng ini tampak baik-baik saja. Bahkan, menurut penuturan Hidayat, bangunan tersebut nggak banyak mengalami perubahan, kecuali tambahan-tambahan kecil di kiri, kanan, dan ruang depan.

"Renovasi besar terakhir dilakukan pada 1838, ketika lantai klenteng ditinggikan untuk menghindari genangan air dari Sungai Lasem yang sering meluap," jelasnya.

Bersisian dengan Sungai Lasem

Klenteng Tjoe An Kiong menjadi satu kompleks dengan Monumen Perjuangan Orang Tionghoa di Lasem. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sungai Lasem berjarak sekitar sepelemparan batu dari klenteng yang berlokasi di Jalan Dasun, Desa Soditan, Kecamatan Rembang ini. Padahal, menurut Hidayat, dulunya sungai tersebut cukup lebar hingga tepiannya tepat berada di depan klenteng, mengalir di sepanjang permukiman Tionghoa di Lasem.

“Namun, untuk kebutuhan pengangkutan kayu, tentara Jepang mempersempit sungai, merobohkan rumah-rumah, dan menutup akses dengan kayu-kayu,” paparnya sembari menunjukkan bentangan sungai yang mengalir hingga Laut Jawa itu.

Berdasarkan berbagai catatan sejarah yang dipelajari Hidayat, dia memperkirakan klenteng yang berlokasi nggak jauh dari bangunan ikonik Rumah Candu ini telah berdiri pada 1477. Namun, sejarawan nggak bisa memastikannya karena ada beberapa catatan yang hilang dicuri Belanda pada masa penjajahan.

"Sudah ratusan tahun berdiri, tapi klenteng ini masih tetap hidup dan menjadi tempat berkumpul warga. Tiap tanggal 23 bulan 3 Kalender Tionghoa, orang-orang biasa datang untuk melihat pertunjukan wayang kulit, klonengan, dan gamelan di sini," tutupnya saat mengawal kami keluar klenteng.

Jika Lasem acap disebut sebagai Tiongkok Kecil, maka Klenteng Tjoe An Kiong adalah jantungnya; karena mungkin di sinilah semuanya bermula. Saya merasa beruntung pernah menyambanginya. Jadi, kalau kamu punya waktu berjalan-jalan ke Lasem, mampirlah ke sini, Millens! (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: