Inibaru.id – Tatkala saya mewawancarai Putri, seorang pekerja kantoran yang sudah beberapa tahun tinggal di Semarang setelah sebelumnya hidup di Jakarta, hal pertama yang saya prediksi tentang alasan mengapa dia mau pindah ke Semarang adalah pengin menikmati kehidupan yang lebih tenang atau yang istilah kerennya adalah slow living. Tapi, alasan yang dia beberkan ternyata melenceng dari anggapan saya sebelumnya.
“Aku pengin lingkungan dengan udara yang lebih sehat. Karena riwayat kesehatanku, sulit kalau terus hidup di Jakarta yang polusinya buruk. Apalagi di sana ada polusi dari PLTU Batubara. Keluar rumah sedikit juga banyak perokok jadi sulit buatku bernapas dengan lega. Di sini, setidaknya tempat kerjaku ada di kawasan yang rindang, jadi lebih baik buat aku,” ucap Putri, Jumat (13/12/2024).
Sebagai seseorang yang paling lama menetap di Jakarta adalah satu pekan, jawaban yang dibeberkan Putri nggak bisa langsung dicerna kepalaku. Apalagi, masih ingat betul di kepala, sekitar 10 tahun yang lalu, salah seorang rekan volunteer dari Swiss bernama Lucia sempat saya ajak nongkrong di pinggir jalan depan Pura Agung Giri Natha. Bukannya terkesima dengan pemandangan Kota Semarang dari atas, dia malah lebih memperhatikan polusi udara yang nggak pernah dia lihat di negaranya.
“Itu bukan kabut kan? Warna kabut nggak seperti itu. Aku jadi paham mengapa kalian selalu pakai jaket dan masker kalau naik motor ke mana-mana,” ucap perempuan yang sudah balik ke negaranya tersebut.
Tapi, Semarang sedekade yang lalu sepertinya memang berbeda dengan Semarang pada masa sekarang. Polusi udara memang masih jadi masalah besar bagi kota ini selain masalah banjir dan kemacetan yang belum bisa diselesaikan. Untungnya, sudah ada perbaikan di banyak sektor, khususnya dalam keseriusan mengelola ruang terbuka hijau (RTH).
Kita nggak membicarakan kawasan di mana kondisi alam masih hijau seperti di Kecamatan Mijen atau Gunungpati, ya, Millens. Yang kita bahas adalah sejumlah taman di Kota Semarang sudah banyak bersolek dan jadi ruang publik yang nyaman bagi banyak orang.
“Dulu pas kuliah di sini, taman di Semarang nggak ada yang menarik. Sekarang ada Taman Indonesia Kaya yang jadi lebih bagus. Ada Taman Pandanaran dan Taman Diponegoro dekat RS Elisabeth juga. Tapi yang bikin aku terkesan setelah balik lagi ke sini, Jalan S. Parman ternyata masih sehijau itu. Eye-catching banget buat dilewati,” ucap Adi Sardjono, pekerja IT yang pulang ke Semarang setelah lama bekerja di Kawasan Industri Cikarang, Sabtu (14/12).
Realitanya, dalam sepuluh tahun belakangan, Kota Semarang memang serius memperbaiki RTH-nya. Menurut keterangan Wali Kota Hevearita Rahayu pada 13 Januari 2024 lalu saja, kini di Semarang sudah ada 143 taman dan setidaknya 13 hutan kota. Jika menilik Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045, terkuak rencana memastikan RTH di Semarang berada di angka 11.211 hektare.
Lebih dari itu, meski banyak armadanya yang justru bikin polusi udara karena gas buangnya yang mirip semburan tinta cumi-cumi, Trans Semarang terus diperbaiki layanannya oleh Pemkot Semarang dengan harapan semakin menarik pengguna. Hal ini membuahkan hasil karena jika pada 2010 lalu Trans Semarang hanya mampu mengangkut 369 ribuan penumpang, selama 2022, tercatat penumpangnya mencapai lebih dari 6,5 juta orang.
Meski belum benar-benar secara efektif mengatasi polusi udara dan kemacetan serta masih perlu perbaikan di sana-sini, peningkatan jumlah penumpang transportasi umum di Kota Semarang ini tentu patut dihargai. Jika dikombinasikan dengan semakin membaiknya kondisi RTH, saya akhirnya mengerti alasan mengapa Putri merasa Kota Semarang bisa jadi opsi tempat tinggal yang lebih sehat.
Menariknya, hal ini juga diamini oleh Adi yang mengaku merasa lebih nggak mudah stres setelah kembali ke Semarang jika dibandingkan dengan di tempat kerjanya dulu.
“Sekarang jadi jarang kena asam lambung atau kepala pusing. Apalagi pas akhir pekan, terkadang saya berolahraga jalan kaki dari Taman Indonesia Kaya sampai ke Stadion Tri Lomba Juang atau main ke BSB. Kalau malam bisa mencari tempat melihat city light untuk meredakan stres. Rasanya jadi punya opsi untuk hidup lebih sehat di sini,” lanjutnya.
Yap, siapa sangka, Semarang yang dulu hanya dikenal gara-gara banjir dan suhu panas, kini bisa jadi opsi untuk jadi tempat tinggal yang lebih sehat. Kalau menurut kamu sendiri, apakah Semarang dengan berbagai kekurangannya ini memang bisa jadi pilihan tempat tinggal yang ideal, Millens? (Arie Widodo/E05)