BerandaAdventurial
Jumat, 6 Feb 2020 13:05

Kelenteng Tek Hay Bio dan Kisah Perjuangan Kwik Lak Kwaa

Kelenteng Tek Hay Bio di Pecinan Semarang. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Kwik Lak Kwaa merupakan tokoh Tionghoa yang berjuang melawan penjajah Belanda. Dia juga berjasa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit. Atas jasanya tersebut dibangun tempat ibadah bernama Kelenteng Tek Hay Bio.

Inibaru.id – Kelenteng Tek Hay Bio letaknya sangat dekat dengan Pasar Semawis Pecinan. Kelenteng ini terletak di Jalan Gang Pinggir Nomor 105-107 Semarang dan telah menjadi salah satu cagar budaya tempat beribadah umat Tridharma.

Bangunan kelenteng memiliki setidaknya beberapa titik ruang ibadah. Yaitu di ruang utama, ruang sayap, dan ruang atas. Di sana, saya bertemu dengan seorang umat Tridharma Kelenteng Tek Hay Bio bernama Ardian Cangianto.

Ruang utama Kelenteng Tek Hay Bio. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Dia menjelaskan, Kelenteng Tek Hay Bio dari beberapa catatan sejarah menjadi kelenteng tua yang berdiri di area Pecinan Semarang. Kelenteng dibangun pada tahun 1754-1757 di Semarang untuk menghormati tokoh pahlawan lokal bernama Kwik Lak Kwaa.

"Untuk menghormati tokoh dagang yang moksa, Kwik Lak Kwaa, dewa utama di sini. Ini aslinya kelenteng marga, marga Kwee," katanya.

Selain dikenal sebagai pedagang, Kwik Lak Kwaa juga memiliki keahlian mengobati penyakit, Millens. Dia ikut berperang melawan penjajah Belanda lantaran dipicu peristiwa pembantaian 10.000 orang Tionghoa di Batavia pada 1740 yang dikenal sebagai Geger Pecinan atau Tragedi Angke.

Namun, dalam perlawanan itu Kwik Lak Kwaa dan tokoh Tionghoa lain kalah persenjataan hingga terpaksa melarikan diri ke Jawa Tengah. Di sana mereka menyusun rencana serangan balasan. Kelompok Kwik Lak Kwaa dibantu pejuang pribumi dan Pasukan Sepanjang menyerang pos kompeni di Tegal.

Sayangnya keberuntungan nggak berpihak pada mereka. Saat berlayar di lepas pantai Tegal, Kwik Lak Kwaa bersama pembantu setianya dari Jawa dirampok. Nggak lama kemudian badai datang dan menenggelamkan kapal. Sejak saat itu banyak kesaksian yang mengatakan Kwik Lak Kwaa telah menyembuhkan banyak orang, dan orang percaya Kwik Lak Kwaa telah diangkat sebagai dewa.

Kisah Kwik Lak Kwaa sampai ke Dinasti Qing dan Kaisar Qianlong memberinya anugerah orang suci pelindung para pedagang di lautan (Zehai Zhenren). Sebagai dewa utama, Kwik Lak Kwaa ini unik karena bukan dewa "impor". Kalau Millens mencari nama ini di Tiongkok nggak akan ketemu, he-he.

Ruang kelenteng yang menjadi tempat papan arwah para leluhur. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Keunikan lain dari kelenteng ini terdapat papan arwah. Jumlahnya lebih dari 100 dan disimpan rapi di kelenteng. Ini sebagai pengingat dan penghormatan akan jasa-jasa para leluhur.

“Papan arwah isinya daftar nama. Ada nama, tahun lahirnya, tahun meninggalnya, tapi di dalam harus dibuka. Ini posisinya. Nama-nama posisinya di sini,” jelas Ardian menunjuk papan berisi kotak-kotak tulisan.

Ardian juga mengajak saya menelusuri beberapa ruang yang ada di kelenteng. Ternyata letak ruang menggambarkan hierarki tertentu. Jika rupang dewa berada di lantai atas, posisinya berarti lebih tinggi daripada rupang dewa yang berada di lantai bawah.

Ritual ibadah di depan altar Dou Mu Yuan Jun. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Saya melihat tiga altar dengan rupang-rupang yang berbeda di lantai dua kelenteng. Termasuk rupang Dou Mu Yuan Jun Dewi dari Bintang Utara, San Qing Dao Zu pembuka jalan Tao atau Dewa tertinggi Taoisme, Lei Shen Hua Tian Zun Dewa Petir.

Di ruang atas saya juga melihat tulisan-tulisan penting terkait ajaran umat Tridharma seperti tiga pusaka ajaran Tao yang terdiri dari welas asih, sederhana, dan rendah hati. Juga ajaran lain seperti “perkataan indah tak selalu benar, kebenaran tidak selalu enak didengar” dan “orang bijaksana lebih mementingkan bersahaja daripada kemewahan panca indra.”

Saya manggut-manggut sambil merenung, setiap agama selalu mengajarkan kemuliaan. (Isma Swastiningrum/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024