BerandaTradisinesia
Kamis, 29 Jan 2020 16:09

Status Sosial dan Tradisi yang Retak di Kampung Gerabah Kunden Kendal

Ngasiati, salah seorang pengrajin gerabah di Kampung Kunden. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Dahulu, Kampung Kunden terkenal sebagai sentra pembuatan gerabah di Kendal. Masyarakat satu kampung memproduksi kerajinan dari tanah liat. Namun saat ini kondisinya telah berbeda, seperti apa perubahannya?

Inibaru.id – Saya mengenal nama Kampung Kunden kali pertama dari buku Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan karya Guru Besar Unnes Tjetjep Rohendi Rohidi. Sekitar lima tahun yang lalu ketika saya baca, isinya begitu mengusik pikiran terkait bagaimana masyarakat miskin mengekspresikan seni mereka.

Dari sana timbul keinginan kuat suatu hari saya harus berkunjung ke kampung tersebut. Sembari beranjangsana akan mimpi tersebut, akhirnya niat kesampaian juga pada Jumat (24/1). Saya menginjakkan kaki di Kampung Kunden, sentra pembuatan gerabah di Kendal.

Menata hasil gerabah yang telah jadi di depan rumah. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Namun, apa yang saya imajinasikan terkait kampung ini dari buku Prof. Tjetjep berbeda cukup jauh, mungkin bedanya 150 derajat dari yang saya bayangkan. Jika Kunden dahulu satu kampung memproduksi beraneka macam produk gerabah, saat ini pengrajinnya bisa dihitung dengan jari.

Menurut pengrajin gerabah yang saya temui bernama Ngasiati, saat ini area pembuat gerabah terdapat di tiga gang utama yang berada di Kelurahan Langenharjo, Kecamatan Kendal. Jika tiga gang tersebut disatukan, jumlah pengrajin gerabah sekitar ada 12 orang.

Pengrajin gerabah yang masih bertahan hingga sekarang merupakan generasi tua yang melanjutkan warisan orang tua dan buyut secara turun temurun. Seperti Ngasiati, perempuan berusia 65 tahun tersebut menekuni dunia gerabah sejak kecil dari orangtuanya.

“Sejak kecil belajar buat gerabah melanjutkan orangtua. SD kelas tiga sudah bikin-bikin, dari cobek, pot-pot bunga, wajan, ngaron,” katanya.

Produk-produk gerabah yang dihasilkan di Kampung Kendal. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Masa itu bahkan Ngasiati diminta orangtuanya untuk putus SD karena membuat gerabah lebih menguntungkan daripada sekolah. Gaji guru pun lebih kecil dibandingkan penghasilan pembuat gerabah.

Pekerjaan sebagai pengrajin gerabah pun bagi generasi muda Kampung Kunden sudah nggak relevan dengan kondisi zaman. Ngasiati menambahkan, perabotan saat ini banyak yang bisa dibuat dari logam dan plastik, nggak perlu bersusah payah berjibaku dengan tanah liat dan proses pembakaran yang mengotori rumah. Akhirnya para generasi muda lebih memilih bekerja di pabrik.

“Dulu di Kunden semua buat gerabah, tahun 2005 orang-orangnya yang kandel (ahli-red) pada meninggal. Tahun 2013 sudah sangat sepi,” ucapnya.

Di sisi lain, kondisi perumahan di Kampung Kunden yang menggambarkan kebudayaan orang miskin pun kini telah berganti. Jika Prof. Tjetjep menyebut rumah orang miskin dicirikan dengan nggak ada ruang privasi dan ruang lebih dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan primer yang bersifat keseharian (subsisten) khususnya untuk membuat gerabah.

Salah satu fasad rumah pengrajin gerabah di Kampung Kunden saat ini. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Sebagian besar rumah-rumah yang ada di Kampung Kunden saat ini rata-rata tembok, ada ruang privasi, dan kondisinya sudah banyak yang layak. Bahkan kondisinya lebih baik jika saya bandingkan dengan rumah-rumah yang ada di perkampungan Deliksari, Kelurahan Sukorejo, Semarang dengan segenap himpitan ekonominya.

Usai kunjungan tersebut, saya tiba-tiba teringat dengan lirik lagu dari Keane, “everybody’s changing and I don’t feel the same.” Segala hal memang berubah, Millens! (Isma Swastiningrum/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Rampcheck DJKA Rampung, KAI Daop 4 Semarang Pastikan Layanan Aman dan Nyaman Jelang Nataru

4 Des 2025

SAMAN; Tombol Baru Pemerintah untuk Menghapus Konten, Efektif atau Berbahaya?

4 Des 2025

Ketua DPRD Jateng Sumanto Resmikan Jalan Desa Gantiwarno, Warga Rasakan Perubahan Nyata

4 Des 2025

Harga Gabah Naik, Sumanto Ajak Petani Jalan dengan Kepala Tegak

3 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: