Inibaru.id - Sarung yang diyakini telah menjadi bagian dari negeri ini sejak diperkenalkan pedagang Arab dan Gujarat pada abad ke-14 terus mengalami perkembangan. Bukan dari segi bentuk, tapi dari motifnya yang menyesuaikan selera masyarakat Nusantara.
Di Lampung, misalnya, sarung bermotif ala kain tapis; sedangkan di Palembang dan Minangkabau laiknya songket. Ada pun di Jawa yang menjadi ihwal mula berkembangnya sarung di Nusantara, kain lebar berbentuk pipa ini bermotif batik, selain mempertahankan motif aslinya yakni kotak-kotak.
Oya, sarung saat ini lebih banyak menjadi pakaian beribadah untuk laki-laki muslim di Tanah Air. Padahal, zaman dulu sarung adalah busana sehari-hari laiknya futah untuk orang Yaman, yang dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Nah, upaya mengembalikan sarung sebagai busana sehari-hari pun belakangan mulai bergulir. Upaya ini salah satunya datang dari Semarang. Menyambut HUT ke-476 Kota Semarang, masyarakat Kota Lunpia mencoba mengampanyekan penggunaan sarung dalam keseharian melalui parade "Sarungu Gayaku" di kawasan Kota Lama, beberapa waktu lalu.
Diikuti Berbagai Kalangan
Kendaraan dilarang melintas di Jalan Letjen Suprapto, Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, sore itu. Tepatnya di depan Taman Srigunting, jalan yang membelah Kota Lama ini telah diubah menjadi catwalk. Para model dari pelbagai kalangan tampak berlenggak-longgok mengenakan sarung.
Mereka terdiri atas para ASN, pelajar, anggota komunitas, dan masyarakat umum. Sebagian dari mereka menjadikan sarung sebagai busana yang dipadukan dengan berbagai atasan, mulai dari kebaya hingga baju muslim. Namun, ada juga peserta yang menampilkan sarung sebagai outfit keseharian, seperti ke pasar.
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menuturkan, sarung yang merupakan bentuk kearifan lokal adalah fesyen multifungsi. Kain yang dipakai dengan dibebatkan pada pinggang ini cocok dipakai dalam hal apa pun. Karenanya, ke depan dia berharap banyak orang akan mengenakan sarung.
"Tujuan parade sarung ini untuk mendongkrak UMKM. Semakin variatif (cara memakai sarung), potensi memaksimalkan kearifan lokal (berupa sarung) buatan para pelaku UMKM semakin besar," ungkap perempuan yang akrab disapa Ita tersebut dalam sambutannya.
Jadi Ikon Kota Semarang
Sekretariat Daerah Jateng Sumarno yang turut memberikan sambutan juga mengaku senang dengan adanya event tersebut. Dia memuji upaya yang dilakukan Semarang untuk menjadikan sarung sebagai busana sehari-hari.
"Setiap Kamis, kami di Pemprov Jateng mengenakan sarung di kantor. Menurut saya, sarung adalah bentuk kesetaraan karena bisa dipakai seluruh lapisan masyarakat," paparnya, yang segera disambut tepuk tangan meriah.
Sementara itu, Dian, peserta parade "Sarungku Gayaku" yang berasal dari Komunitas Diajeng Semarang (KDS) menyambut antusias event yang bisa dinikmati secara gratis itu. Sebagai pegiat budaya berkain dan berkebaya, acara ini bisa jadi edukasi bahwa sarung nggak sekadar outfit untuk beribadah.
"Keberadaan event ini membuat orang-orang lebih percaya diri tampil (bersarung) di depan publik," ungkap perempuan yang mengaku baru kali pertama mematut diri di atas catwalk tersebut. "Sarung harus jadi salah satu ikon fesyen Semarang dan semoga lebih sering ada acara beginian."
Dari segi ragam motif dan kemudahan untuk dipadu-padankan dengan segala busana, sarung memang menarik untuk dijadikan sebagai bagian dari busana keseharian. Kamu tertarik mengenakan sarung juga nggak, nih? (Fitroh Nurikhsan/E03)