BerandaTradisinesia
Senin, 11 Jun 2023 17:00

Mengapa Disebut Sebagai Sepeda Jengki?

Mengapa Disebut Sebagai Sepeda Jengki?

Sepeda Jengki dengan jenama Phoenix dari Tiongkok. (Dzofar.com)

Nggak ada jenama jengki. Kalau kamu mencari referensi di internet, jengki juga lebih dikenal sebagai gaya arsitektur. Lantas, dari mana istilah sepeda jengki muncul?

Inibaru.id – Generasi milenial yang sudah nggak bisa lagi dibilang sebagai anak muda pasti ngeh banget dengan istilah sepeda jengki. Yap, sepeda ini memang sangat berbeda dengan sepeda-sepeda zaman sekarang yang terkesan lebih sporty.

Tapi, pernah nggak kamu terpikir mengapa sepeda itu diberi nama jengki? Padahal, itu bukan sebuah jenama. Kalau kamu mencari referensi tentang jengki di internet, yang bakal kamu temui biasanya adalah gaya jengki atau yankee style, gaya arsitektur modernis yang berkembang di Indonesia pada 1950-an sampai 1960-an.

Kalau di kotamu masih ada banyak rumah yang dibangun pada dekade tersebut, pasti bakal ngeh deh dengan style jengki tersebut.

Mengapa disebut jengki? Sebagaimana disebutkan sebelumnya, jengki berasal dari kata Yankee, istilah yang merujuk pada orang-orang dari Amerika Serikat. Saat Indonesia baru merdeka, masyarakat pengin mengganti sejumlah hal yang masih berbau kolonialisme Belanda.

Salah satunya adalah mengadopsi gaya arsitektur rumah-rumah dari Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II.

Gaya jengki kali pertama masuk ke Indonesia saat Kebayoran Baru dibangun pada 1955. Salah satu perumahan di sana, yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dibangun dengan arsitektur khas rumah-rumah Amerika Serikat. Ciri khasnya adalah sudut-sudut bangunan yang cenderung berani dengan mengambil bentuk persegi atau persegi panjang.

Salah satu rumah dengan gaya arsitektur jengki di Padang Pariaman, Sumatra Barat. (Wikipedia/Rhmtdns)

Nah, satu bangunan dengan gaya jengki yang masih bisa kamu lihat sekarang dalah Wisma Jenderal Ahmad Yani di Gresik, Jawa Timur, Millens.

Lantas, kok bisa sampai merembet jadi sebutan untuk sepeda? Kalau soal ini, kita mundur ke dekade 1940-an. Saat itu, sepeda onthel sudah sering dipakai masyarakat, khususnya di kawasan perkotaan. Sepeda onthel ini seringkali dikenal dengan istilah pit kebo atau sepeda kerbau karena ada yang memakai jenama 'Banteng'.

“Umumnya dipakai masyarakat perkotaan, khususnya kaum bangsawan dan pengusaha pada zaman Hindia Belanda,” ucap Ketua Paguyuban Onthel Djogjakarta Muntowil sebagaimana dikutip dari Idntimes, Selasa (4/8/2020).

Sepeda onthel khas zaman kolonial. (Kebudayaan Kemendikbud)

Pada 1970-an, sepeda-sepeda dari Tiongkok mulai membanjiri pasar Tanah Air. Sepeda ini dianggap cocok dipakai oleh laki-laki ataupun perempuan karena bagian top tube alias batang rangka bagian atasnya melengkung atau turun ke bawah sehingga memudahkan kaum hawa menaikinya meski memakai rok panjang. Bentuk rangka ini sangat berbeda dengan pit kebo yang memakai top tube lurus horizontal dari bawah setang sampai ke sadel.

Harga dari sepeda jengki ini juga cenderung lebih terjangkau sehingga cepat populer. Nggak hanya kalangan menengah ke atas yang bisa membelinya, melainkan juga kalangan masyarakat bawah.

Karena dianggap mampu menghilangkan ‘aroma’ kolonialisme dan mengurangi jumlah sepeda yang sudah eksis sejak zaman Hindia Belanda di jalanan, sepeda asal Tiongkok tersebut pun akhirnya dikenal sebagai sepeda jengki.

Sayangnya, popularitas sepeda jengki semakin menurun setelah pergantian millennium. Kini, sangat jarang bisa menemukan sepeda jengki dipakai di jalanan.

Apakah di rumahmu masih ada sepeda jengki, Millens? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Iri dan Dengki, Perasaan Manusiawi yang Harus Dikendalikan

27 Mar 2025

Respons Perubahan Iklim, Ilmuwan Berhasil Hitung Jumlah Pohon di Tiongkok

27 Mar 2025

Memahami Perasaan Robot yang Dikhianati Manusia dalam Film 'Companion'

27 Mar 2025

Roti Jala: Warisan Kuliner yang Mencerminkan Kehidupan Nelayan Melayu

27 Mar 2025

Jelang Lebaran 2025 Harga Mawar Belum Seharum Tahun Lalu, Petani Sumowono: Tetap Alhamdulillah

27 Mar 2025

Lestari Moerdijat: Literasi Masyarakat Meningkat, tapi Masih Perlu Dorongan Lebih

27 Mar 2025

Hitung-Hitung 'Angpao' Lebaran, Berapa Banyak THR Anak dan Keponakan?

28 Mar 2025

Setengah Abad Tahu Campur Pak Min Manjakan Lidah Warga Salatiga

28 Mar 2025

Asal Usul Dewi Sri, Putri Raja Kahyangan yang Diturunkan ke Bumi Menjadi Benih Padi

28 Mar 2025

Cara Menghentikan Notifikasi Pesan WhatsApp dari Nomor Nggak Dikenal

28 Mar 2025

Hindari Ketagihan Gula dengan Tips Berikut Ini!

28 Mar 2025

Cerita Gudang Seng, Lokasi Populer di Wonogiri yang Nggak Masuk Peta Administrasi

28 Mar 2025

Tren Busana Lebaran 2025: Kombinasi Elegan dan Nyaman

29 Mar 2025

AMSI Kecam Ekskalasi Kekerasan terhadap Media dan Jurnalis

29 Mar 2025

Berhubungan dengan Kentongan, Sejarah Nama Kecamatan Tuntang di Semarang

29 Mar 2025

Mengajari Anak Etika Bertamu; Bekal Penting Menjelang Lebaran

29 Mar 2025

Ramadan Tetap Puasa Penuh meski Harus Lakoni Mudik Lebaran

29 Mar 2025

Lebih dari Harum, Aroma Kopi Juga Bermanfaat untuk Kesehatan

29 Mar 2025

Disuguhi Keindahan Sakura, Berikut Jadwal Festival Musim Semi Korea

29 Mar 2025

Fix! Lebaran Jatuh pada Senin, 31 Maret 2025

29 Mar 2025