BerandaTradisinesia
Rabu, 20 Feb 2018 07:23

Tayub Sragen Tetap Eksis

Sajian tayub. (perwara.com)

Kesenian dari Sragen ini awalnya merupakan tari yang hanya digelar pada acara-acara khusus di keraton, lo. Meski pernah mendapat pengaruh negatif pada masa penjajahan Belanda, Tayub di Sragen masih eksis.

Inibaru.id – Keragaman jenis kesenian Indonesia memang sudah diakui masyarakat dunia. Salah satunya kesenian dari Sragen ini.

Ini tarian berpasangan yang diawali dengan Tari Gambir Anom, yaitu sebuah tarian klasik dengan gaya lemah lembut. Dengan diiringi irama tembang-tembang Jawa, suara gong, dipadu kendang dengan irama rancak jalin-menjalin, memacu semangat si penari untuk bergoyang tanpa lelah. Sesekali tampil sedikit atraktif untuk menarik perhatian penonton. Adakah Sobat Millens yang mengenal kesenian dari Sragen ini? Ya, namanya tayub Sragen.

Jadi, tayub Sragen ini merupakan seni pertunjukan rakyat Jawa yang berwujud tari berpasangan antara ronggeng dan pengibing. Irama pengiringnya biasanya lagu-lagu campursari atau dangdut.

Awalnya tayub merupakan ungkapan kegembiraan untuk menyambut kedatangan tamu dan juga bagian dari pesta rakyat. Namun sekarang, pertunjukan tayub biasa dilaksanakan warga untuk memeriahkan acara sunatan maupun pernikahan. Menariknya, penari tayub akan mengajak para penonton untuk menari bersama. Tamu yang dianggap terhormat biasanya akan diajak untuk menari bersama dengan ditandai sampur yang dikalungkan.

Di daerah Sragen, tayub banyak berkembang di Kecamatan Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan, dan Ngrampal.

Baca juga:
Melongok Kehidupan Manusia Purba di Museum Sangiran, Sragen
Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini

Oya, perlu kamu tahu nih, tayub mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Singasari di Jawa Timur semasa masih menjadi Pakuwon Tumapel. Kali pertama kali digelar pada waktu pengangkatan Tunggul Ametung sebagai akuwu di Tumapel. Selanjutnya, tayub berkembang ke Kerajaan Kediri dan Majapahit. Namun pada zaman Kerajaan Demak, Kesenian Tayub jarang dipentaskan.

Muncul lagi ketika masa Kerajaan Pajang dan Mataram, tayub pada waktu itu dijadikan tarian di Keraton yang hanya digelar untuk acara-acara khusus. Sayang, tayub ini mendapat pengaruh negatif pada masa penjajahan Belanda. Tariannya dimasuki unsur negatif yang dikenal dengan 3C: cium, ciu, dan colek. Tujuannya untuk mengacaukan rasa persatuan karena dengan mabuk, orang bisa gampang tersinggung, bertengkar, dan sebagainya.

Ditambah lagi citra Kesenian tayub yang diperburuk dengan ulah para penari pria atau penontonnya. Penonton biasanya memberi saweran dengan cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Nah, gara-gara itu muncul kesan bahwa para penari tayub dianggap murahan.

Tapi itu dulu, pada era sekarang, tayub telah mengalami pergeseran. Kalau dulu pakaian yang dikenakan penari biasanya hanya mengenakan kemben sebatas dada, sekarang lebih sopan. Pakaian yang dikenakan sama seperti pakaian wanita adat Jawa kebanyakan.

Dilansir dari senibudaya.web.id (29/10/2015), salah seorang penari tayub asal Jenar, Sragen, Juniati mengatakan bahwa pakaian penari tayub sekarang sudah jauh berbeda dengan penari tayub pada zaman dulu. Penari ini nggak rela kalau penari Tayub dikonotasikan negatif.

”Tayub sekarang sudah berbeda dengan tayub zaman penjajah dulu. Sekarang sudah nggak ada kebiasaan-kebiasaan yang negatif seperti pada zaman dulu,” tegas Juniati.

Ada beberapa pendapat mengenai istilah tayub, lo. Ada yang menyebut bahwa tayub ini oleh Sunan Kalijaga dimaknai toyyib yang artinya “kebaikan”. Ini adalah salah satu cara Sunan Kalijaga menyebarkan agam Islam melalui kebudayaan.

Pendapat lainnya seperti disebutkan dalam tanahmemerah.wordpress.com, menurut pendapat Suparno Hadipura SPd, salah seorang pemerhati kesenian tayub di Kecamatan Jenar, Sragen, tayub berasal dari kata “tata” dan “guyub” yang mempunyai arti “ditata biar kompak”. Ini karena tayub harus kompak tingkah dan geraknya secara lahir batin, Millens. Begitu juga kompak antara penarinya dan penabuh gamelan.

Suparno menyebutkan, tayub merupakan kesenian adiluhung. Kesenian tayub mengandung filosofi yang tinggi, yaitu “sapa kang duwe geguyuhan lamun bisa nyingkirke ing panggoda utawa pepalang bakal bisa kasembadan ing sedya”.

Apa ya artinya?

Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya “siapa yang mempunyai cita-cita harus bisa bertahan terhadap segala godaan bakal bisa terwujud”. Nah, kalau godaan dalam tayub dilambangkan dengan penari utama yang disebut tledek dan penari penggiring yang disebut panglareh. Adapun simbol yang mengajak kebaikan diperankan oleh pangarih yang merupakan penari yang mengiringi panglaras. Panglaras adalah orang yang diajak menari atau yang mendapatkan sampur.

Baca juga:
Berebut Apem Yaqowiyu, Berdoa untuk Keberkahan
Keunikan Tari Orek-orek Khas Rembang

Jadi begini Sobat Millens, kalau penari tledek dan panglasan menari berhadap-hadapan, tledek dan penari penggiringnya akan menggoda panglaras. Nah, pangarih ini yang akan berperan untuk mengajak panglaras supaya nggak terpengaruh dengan godaan. Unik banget ya, Sobat Millens?

Dikepung banyak jenis musik modern, popularitas Tayub nggak meredup. Kesenian ini masih banyak dijumpai di acara-acara hajatan beberapa desa di wilayah Kabupaten Sragen. Regenerasi penari tayub di Kabupaten Sragen juga berjalan cukup baik. Hal ini terbukti dengan banyaknya penari yang mayoritas berusia muda antara 20 hingga 30 tahunan.

Tertarik buat jadi generasi penari tayub selanjutnya, nggak? (SR/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: