Inibaru.id - Seminggu setelah gegap gempita Hari Raya Idulfitri, kembang api masih acap terdengar. Aroma baju baru juga masih melekat di busana yang dipakai orang-orang dalam keseharian. Perayaan memang belum usai, karena masih ada Syawalan atau yang juga dikenal sebagai Lebaran ketupat.
Sebagian besar umat muslim, khususnya di Jawa, merayakan "lebaran kecil" ini sekitar sepekan pasca-Idulfitri. Untuk Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Syawalan umumnya digelar pada hari ketujuh setelah lebaran atau 8 Syawal, yang dirayakannya dengan tradisi yang berbeda-beda.
Di Desa Gunungwungkal, tradisi Syawalan umumnya dimulai dengan membuat lepet, penganan tradisional berbahan dasar beras ketan yang dibungkus daun kelapa atau janur yang dibikin kerucut. Selain lepet, mereka juga membuat ketupat yang berbentuk wajik.
"Ketupat dan lepet menjadi hidangan khas Syawalan di tempat kami. Bukan semata sebagai sajian utama, keduanya juga memilki makna mendalam bagi kami," tutur Nur Cahyo, salah seorang warga setempat kepada Inibaru.id, belum lama ini.
Akui Kesaahan dan Minta Maaf
Nur mengungkapkan, keberadaan lepet dan ketupat saat Syawalan hampir nggak tergantikan di kalangan warga, Keduanya adalah simbol permintaan maaf. Maka, saling bertukar lepet dan ketupat bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan kesalahan dan kemauan untuk memohon maaf ke orang lain.
"Ketupat adalah akronim dari 'ngaku lepat' atau mengakui kesalahan. Arti serupa juga berlaku untuk lepet yang berasal dari kata 'lepet' yang kurang lebih berarti kesalahan. Ini adalah simbol bahwa manusia tidak luput dari kesalahan," terang Nur.
Selain namanya yang filosofis, proses pembuatan lepet dan ketupat juga memiliki makna yang mendalam. Ketupat, misalnya, untuk membuatnya kita harus menjalin janur agar bisa berbentuk wajik berongga sebelum diberi beras.
Pun demikian dengan lepet yang pembuatannya lebih rumit ketimbang ketupat. Butuh keahlian untuk membungkus beras memakai janur, lalu mengikatnya dengan tutus atau tali bambu secara bertumpuk, agar tercipta lepet yang pulen, padat, dan tahan lama.
Seperti Mengurai Masalah
Nur menjelaskan, proses mengikat lepet yang dibikin bersusun memang disengaja. Hal ini erat kaitannya dengan filosofi orang Jawa saat menghadapi masalah. Menurutnya, untuk benar-benar bisa memaafkan orang lain, permasalahan harus diurai dulu hingga tuntas.
"Lepet yang diikat dengan tutus yang saling bertumpuk adalah simbol bahwa proses mengurai masalah harus dilakukan perlahan, satu per satu, sehingga nantinya kita benar-benar bisa memaafkan dengan ikhlas," paparnya.
Oya, berbeda dengan ketupat yang rasanya hambar, lepet cenderung gurih. Lepet yang benar harus cukup padat, tapi memiliki tekstur yang liat karena terbuat dari beras ketan. Ini berbeda dengan ketupat yang berbahan dasar beras biasa.
"Nah, tekstur ketan yang liat dan lengket ini adalah perlambang ikatan persaudaraan yang kuat," tandasnya sembari menunjukkan bentuk lepet yang telah siap disajikan.
Duh, jadi kangen lebaran lagi, nih! Ha-ha. Di tempatmu, saat Syawalan ada tradisi bikin lepet juga nggak, Millens? (Rizki Arganingsih/E03)