BerandaTradisinesia
Minggu, 20 Apr 2024 16:00

Lepet, Syawalan, dan Tradisi Saling Memaafkan Pasca-Lebaran

Lepet ditali dengan tutus atau ikat bambu yang dililitkan secara bertumpuk. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Seminggu pasca-lebaran, masyarakat membuat lepet dan menggelar Syawalan sebagai tradisi saling memaafkan antarkeluarga dan saudara.

Inibaru.id - Seminggu setelah gegap gempita Hari Raya Idulfitri, kembang api masih acap terdengar. Aroma baju baru juga masih melekat di busana yang dipakai orang-orang dalam keseharian. Perayaan memang belum usai, karena masih ada Syawalan atau yang juga dikenal sebagai Lebaran ketupat.

Sebagian besar umat muslim, khususnya di Jawa, merayakan "lebaran kecil" ini sekitar sepekan pasca-Idulfitri. Untuk Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Syawalan umumnya digelar pada hari ketujuh setelah lebaran atau 8 Syawal, yang dirayakannya dengan tradisi yang berbeda-beda.

Di Desa Gunungwungkal, tradisi Syawalan umumnya dimulai dengan membuat lepet, penganan tradisional berbahan dasar beras ketan yang dibungkus daun kelapa atau janur yang dibikin kerucut. Selain lepet, mereka juga membuat ketupat yang berbentuk wajik.

"Ketupat dan lepet menjadi hidangan khas Syawalan di tempat kami. Bukan semata sebagai sajian utama, keduanya juga memilki makna mendalam bagi kami," tutur Nur Cahyo, salah seorang warga setempat kepada Inibaru.id, belum lama ini.

Akui Kesaahan dan Minta Maaf

Lepet diangin-anginkan setelah direbus agar air dalam lepet berkurang. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Nur mengungkapkan, keberadaan lepet dan ketupat saat Syawalan hampir nggak tergantikan di kalangan warga, Keduanya adalah simbol permintaan maaf. Maka, saling bertukar lepet dan ketupat bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan kesalahan dan kemauan untuk memohon maaf ke orang lain.

"Ketupat adalah akronim dari 'ngaku lepat' atau mengakui kesalahan. Arti serupa juga berlaku untuk lepet yang berasal dari kata 'lepet' yang kurang lebih berarti kesalahan. Ini adalah simbol bahwa manusia tidak luput dari kesalahan," terang Nur.

Selain namanya yang filosofis, proses pembuatan lepet dan ketupat juga memiliki makna yang mendalam. Ketupat, misalnya, untuk membuatnya kita harus menjalin janur agar bisa berbentuk wajik berongga sebelum diberi beras.

Pun demikian dengan lepet yang pembuatannya lebih rumit ketimbang ketupat. Butuh keahlian untuk membungkus beras memakai janur, lalu mengikatnya dengan tutus atau tali bambu secara bertumpuk, agar tercipta lepet yang pulen, padat, dan tahan lama.

Seperti Mengurai Masalah

Lepet harus direbus selama kurang lebih 3 jam dengan api sedang. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Nur menjelaskan, proses mengikat lepet yang dibikin bersusun memang disengaja. Hal ini erat kaitannya dengan filosofi orang Jawa saat menghadapi masalah. Menurutnya, untuk benar-benar bisa memaafkan orang lain, permasalahan harus diurai dulu hingga tuntas.

"Lepet yang diikat dengan tutus yang saling bertumpuk adalah simbol bahwa proses mengurai masalah harus dilakukan perlahan, satu per satu, sehingga nantinya kita benar-benar bisa memaafkan dengan ikhlas," paparnya.

Oya, berbeda dengan ketupat yang rasanya hambar, lepet cenderung gurih. Lepet yang benar harus cukup padat, tapi memiliki tekstur yang liat karena terbuat dari beras ketan. Ini berbeda dengan ketupat yang berbahan dasar beras biasa.

"Nah, tekstur ketan yang liat dan lengket ini adalah perlambang ikatan persaudaraan yang kuat," tandasnya sembari menunjukkan bentuk lepet yang telah siap disajikan.

Duh, jadi kangen lebaran lagi, nih! Ha-ha. Di tempatmu, saat Syawalan ada tradisi bikin lepet juga nggak, Millens? (Rizki Arganingsih/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: