Inibaru.id – Akun Instagram @jogja pada Jumat (31/1/2025) mengunggah video yang menunjukkan diadakannya tradisi Labuhan Merapi. Dalam unggahan tersebut, diungkapkan bahwa salah satu prosesi dalam Labuhan Merapi adalah berjalan melalui jalur pendakian Gunung Merapi yang sudah ditutup pascaerupsi Merapi 2010 yang menewaskan juru kunci Mbah Maridjan.
Mengutip dari Jogjaprov (6/4/2022), Labuhan Merapi yang selalu digelar pada 30 Rajab/1 Ruwah dalam Kalender Jawa ini dipercaya sudah eksis sejak abad ke-17. Tujuan dari diadakannya tradisi yang dilakukan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Kapanewon Cangkringan, Sleman ini adalah sebagai ajang berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar negara dan rakyat selalu diberi keselamatan, ketenteraman, dan kesejahteraan.
Selain berdoa bersama dan mengarak upa-rampai, biasanya Labuhan Merapi juga disemarakkan dengan prosesi rebutan gunungan dan pementasan sejumlah acara budaya. Hm, menarik banget, ya?
Lalu, apakah yang mendasari digelarnya tradisi tahunan Labuhan Merapi ini? Hal itu rupanya berkaitan erat dengan sumbu imajiner Yogyakarta yang digagas Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sumbu itu meliputi Gunung Merapi, Kota Yogyakarta, dan Pantai Parangtritis.
Menjaga Keselarasan
Ketiga sumbu imajiner tersebut perlu dijaga keselarasannya. Khusus untuk Gunung Merapi, caranya adalah dengan menggelar ritual syukur yang dikenal sebagai Labuhan Merapi. Begitulah ihwal mula ceritanya,
Namun, sebagaimana ritual-ritual lain di Jawa yang selalui dibumbui mitos dan legenda, Labuhan Merapi juga setali tiga uang. Cerita rakyat paling terkenal terkait tradisi ini adalah kisah pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Laut Selatan di Pantai Parangkusumo.
Alkisah, raja pertama Mataram itu bertemu sang penguasa Samudra Hindia di Pantai Parangkusumo dalam upaya meminta solusi untuk mengatasi pertikaian yang terjadi antara Kerajaan Pajang dengan Mataram. Dari hasil pertemuan, Panembahan Senopati diberi telur jagat.
Panembahan Senopati lalu mengansurkan telur ke seorang juru taman, meminta dia untuk memakannya. Juru masak menurut, lalu berubahlah dia menjadi raksasa; yang kemudian diminta untuk mengawasi Gunung Merapi demi melindungi masyarakat Yogyakarta dari letusan gunung.
Untuk memberi penghormatan terhadap sang juru taman, digelarlah tradisi Labuhan Merapi.
Ada Versi Kedua
Cerita rakyat itu ternyata nggak berdiri sendirian. Ada kisah lain yang juga cukup terkenal dan telah dituturkan turun-temurun. Seperti cerita pertama, versi kedua ini juga masih melibatkan Panembahan Senopati dan Ratu Laut Selatan.
Setelah meminta dukungan moral dari Kerajaan Laut Selatan, tiap tahun Panembahan Senopati diharuskan rutin memberikan persembahan untuk penunggu Gunung Merapi. Tujuannya, agar keluarga, keturunan, dan kerajaannya selalu diberi keselamatan.
Ritus pemberian persembahan untuk penunggu Gunung Merapi itu kemudian menyebar luas dan mulai dikenal sebagai Labuhan Merapi.
Terlepas dari sejauh mana kebenaran cerita tersebut, entah versi pertama atau kedua, nyatanya Labuhan Merapi telah menjadi tradisi yang lekat di tengah-tengah masyarakat, menjadi bagian penting dalam kearifan lokal di Yogyakarta.
Kamu pernah ikut serta meramaikan tradisi Labuhan Merapi nggak, Millens? (Arie Widodo.E10)