BerandaTradisinesia
Sabtu, 6 Sep 2019 16:41

Mari Bermain Congklak, Dolanan Anak yang Sarat Makna!

Bermain congklak. (Instagram/samsaraubud)

Meski dimainkan berhadapan alias duel, congklak bukanlah permainan seperti catur yang berakhir dengan menang dan kalah. Lalu?

Inibaru.id - Congklak adalah permainan tradisional yang memiliki banyak nama di Indonesia. Di Jawa, masyarakat mengenalnya sebagai dakon. Sementara, di pelbagai tempat di negeri ini, congklak juga dikenal sebagai mokaotan, maggaleceng, aggalacang, nogarata, dan dentuman lamban.

Memainkan congklak tidaklah sulit, asalkan ada papan dan biji congklak, plus teman bermain, karena memainkannya nggak bisa sendirian. Untuk memainkannya pun gampang. Secara bergantian, pemain mengambil semua biji di satu ceruk, kemudian menyebarkannya ke ceruk yang lain.

Papan congklak modern yang unik. (Instagram/kemenpora)

Secara umum, congklak memiliki 14 ceruk sama besar yang terbagi dalam dua lajur. Lalu, ada dua ceruk besar di ujung kedua lajur itu, yang biasa disebut lumbung. Masing-masing pemain memakai satu lumbung.

Baca Juga:
Gampang Banget, Bikin Papan Congklak Sendiri, yuk!
Temuan Situs Batu Dakon di Nusantara, Berhubungan dengan Permainan Congklak?

Permainan dinyatakan selesai saat biji di ke-14 ceruk habis, berpindah ke lumbung. Pemain dengan jumlah bijinya di lumbung lebih banyak dianggap sebagai pemenang.

Bermain congklak. (Instagram/agk_cinema_photography)

Filosofi Congklak

Lebih dari sekadar permainan, congklak sejatinya juga penuh filosofi, lo, Millens. Saat memulai permainan, tiap ceruk diisi oleh tujuh biji. Jika kamu jeli, tiap pemain juga "berhak" atas tujuh ceruk. Angka tujuh dimaknai sebagai jumlah hari dalam seminggu.

Saat permainan dimulai, pemain akan mengambil biji congklak dari satu lubang, dan mengisi lubang lain termasuk lubang lumbung yang ada di kedua sisi papan. Cara bermain tersebut dimaknai bahwa apa yang kita lakukan hari ini akan berpengaruh pada masa depan kita dan orang lain.

Biji congklak dalam ceruk. (Flickr/peter)

Ketika biji congklak diambil, ini menggambarkan bahwa hidup haruslah memberi dan menerima, sehingga dapat tercipta keseimbangan. Biji yang diambil satu per satu menandakan bahwa dalam hidup kita harus berlaku jujur, meski membutuhkan usaha dan waktu yang lebih lama.

Baca Juga: Bentikan, Mabar Generasi Awal Milenial yang Nggak Kalah Mengasyikkan

Lalu, cara menaruh biji yang dilakukan satu per satu juga punya filosofi, yakni kita harus memiliki tabungan untuk masa depan. Jika mendapat rezeki, kita dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan, tapi secukupnya saja. Rezeki yang tersisa dapat disimpan dan dibagikan ke saudara, tetangga, dan orang lain yang membutuhkan.

Permainan congklak juga dikenal di luar negeri, tapi dengan enam ceruk. (Instagram/mon.auale)

Mempertahankan Diri

Pada permainan congklak, pemain sebaiknya nggak boleh mengisi lubang lumbung milik lawan. Ini karena untuk memenuhi kebutuhan hidup, seseorang harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Baca Juga:
Congklak, Salah Satu Permainan Tertua di Dunia
Dakon, Permainan Tradisional yang Hampir Punah

Permainan congklak pada dasarnya merupakan permainan mempertahankan biji congklak yang kita miliki, agar nggak habis diambil lawan. Ini adalah filosofi bertahan hidup, yang dilakukan dengan cara yang jujur dan strategi masing-masing.

Bermain congklak bersama. (Flickr/adnanalley)

Pada akhir permainan, pemain dengan jumlah biji congklak terbanyak adalah "pemenang"-nya. Maksudnya, orang sukses adalah yang memiliki amal kebaikan lebih banyak, menabung lebih banyak, dan tahu strategi yang tepat.

Nah, kendati dimainkan berhadapan alias duel, congklak bukanlah tentang menang dan kalah, lantaran permainan nggak lantas kelar saat ceruk kecil habis. Pemain boleh mengulangi permainan itu, lagi dan lagi. Yap, ini karena dalam congklak, yang penting adalah memaknai permainan itu.

Congklak menjadi permainan yang penuh makna. (Flickr/gedelila)

Hm, kendati dampak sederhana, rupanya begitu indah makna di balik permainan congklak ya, Millens. Berminat memainkannya? (MG28/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Jateng Raih Dua Penghargaan di ABBWI 2024; Strategi Pariwisata Sukses Bawa Wisatawan

17 Des 2024

Catat Baik-Baik, Cuti Bersama dan Libur Sekolah pada Libur Nataru Kali Ini!

17 Des 2024

Benarkah Bikin SIM di Bulan Desember 2024 Gratis?

17 Des 2024

Serunya Wisata Air di Situ Tirta Marta Purbalingga

17 Des 2024

Menghadapi 'Curving Relationship', Apa yang Harus Dilakukan?

17 Des 2024

Begini Cara Dapatkan Diskon 50 Persen Tarif Listrik pada Januari-Februari 2025

17 Des 2024

Stok Pangan Nataru Dipastikan Aman, Masyarakat Jateng Diimbau Nggak 'Panic Buying'

17 Des 2024

Menggantikan Tugu Jamban, Seberapa Penting Nyi Pandansari bagi Warga Boja?

18 Des 2024

Di Jepang, Kamu Bisa Mencoba Kehidupan Siswa dalam Anime Sehari

18 Des 2024

Opsen PKB Berlaku pada 2025, Tagihan Pajak Kendaraan Bakal Naik?

18 Des 2024

Sejak Kapan Banjir Rob Jadi Masalah di Kota Semarang?

18 Des 2024

Bekali Remaja dengan Keterampilan Prososial untuk Masa Depan yang Lebih Baik

18 Des 2024

Sukseskan 'Makan Bergizi Gratis', Barantin Perketat Pengawasan Bahan Baku Pangan

18 Des 2024

BPBD Temanggung Imbau Masyarakat Waspadai Potensi Hujan Ekstrem dan Longsor

18 Des 2024

Dampak Berantai Naiknya PPN 12 Persen bagi Kalangan Menengah dan Bawah

19 Des 2024

Kelanjutan Kasus Penembakan Siswa Semarang: Polda Hadirkan Saksi Ahli Laboratorium Forensik

19 Des 2024

Begini Cara Mengecek Nomor KTP Kita Terdaftar Pinjol atau Nggak

19 Des 2024

Menangis saat Menonton Film; Bukan Kelemahan, tapi Kecerdasan Emosional

19 Des 2024

Sedekade Tutup, Basement Lawang Sewu Kembali Dibuka untuk Wisatawan

19 Des 2024

Bijakkah Memaafkan Pelaku Korupsi yang Mengembalikan Hasil Korupsi Secara Diam-Diam?

19 Des 2024