Inibaru.id – Sebagai salah satu kesenian tradisional Jawa Tengah, Tayub kerap dianggap sebagai tarian yang penuh dengan erotisme. Mulai dari busana yang dikenakan para ledhek, gerakan tarian, waktu pertunjukan, hingga penggunaan minuman keras menjadi dasar penilaian mengapa citra negatif kesenian ini berkembang di masyarakat.
Namun, benarkah penggunaan minuman keras dalam tayub sebatas untuk kesenangan saja?
Semula, sajian minuman keras atau tuak merupakan bentuk penghormatan pada tuan rumah. Jika tuan rumah menawarkan minuman ini pada waranggana (pesinden), ini juga menjadi penanda bahwa para tamu undangan dipersilakan ikut minum.
Para ledhek (penari) ikut mengonsumsi minuman ini sebelum melakukan pertunjukan dengan alasan lain. Tuak dipercaya bisa membuat mereka lebih bersemangat menari.
Dulu, para ledhek biasanya dijamu dengan tuak. (Mata Timoer)
Selain meningkatkan semangat, mengonsumsi tuak juga membuat para ledhek lebih percaya diri dengan penampilan mereka.
Sayang, minuman keras ini kemudian seolah menjadi bagian nggak terpisahkan dari kesenian tayub. Dengan tujuan supaya pertunjukan kian meriah, minuman keras nyaris nggak absen setiap kali kesenian ini digelar.
Kini, tayub berusaha menghilangkan citra negatifnya dengan melarang penggunaan minuman keras. Kamu yang tertarik mempelajari tarian ini nggak perlu merasa malu.
Mengingat modernisasi zaman menggerus kesenian kuno Jawa, sudah sepatutnya tarian ini dilestarikan oleh generasi muda. Yuk, ikut berkontribusi melestarikan kekayaan budaya sendiri! (IB15/E03)