BerandaPasar Kreatif
Minggu, 23 Mei 2020 11:10

Usaha Para Pedagang Selongsong Ketupat Dadakan, Dapat 'Durian Runtuh' Mulai H-2 Lebaran

Para pedagang ketupat dadakan yang berderet di Pasar Peterongan. (Inibaru.id/ Audrian F)

Mereka hanya tumpah ruah satu waktu dalam setahun, yakni sejak H-2 lebaran. Bak durian runtuh, para pedagang selongsong ketupat dadakan ini mencari mendapatkan untung berkali lipat di emperan pasar-pasar tradisional.<br>

Inibaru.id - Selain profesi tukar uang baru, ada satu profesi dadakan lagi yang munculnya hanya pada menjelang Lebaran. Merekalah para pedagang selongsong ketupat. Kalau kamu cermat memerhatikan, biasanya mereka muncul H-2 lebaran.

Para pedagang selongsong ketupat ini juga nggak memiliki lapak-lapak tetap. Tempat mereka berjualan biasanya berada di depan atau di pinggiran pasar yang sekiranya terdapat lahan untuk menggelar lapak.

Mereka tumpah ruah di mana-mana, termasuk di berbagai pasar tradisional di Kota Semarang. Pasar Peterongan, yang memang dikenal masyarakat sebagai tempat mencari kebutuhan lebaran, menjadi salah satu tempat paling ramai.

Masrokan sudah 10 tahun menjadi pedagang selongsong ketupat. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Masrokan, salah seorang pedagang selongsong ketupat dadakan, berkisah, "profesi dadakan ini telah dilakoninya selama sedekade terakhir. Berjualan selongsong ketupat bukanlah pekerjaan utamanya. Ini dilakukan semata untuk sambilan, semacam tambahan penghasilan menelang lebaran.

“Hasilnya lumayan, bisa untuk lebaran,” tutur lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai pekerja proyek ini, Jumat (20/5/2020).

Hal serupa juga diungkapkan Labu. Lelaki yang semula berprofesi sebagai petani itu sengaja menekuni usaha selongsong ketupat lantaran keuntungan yang menggiurkan. Dalam dua hari, mulai H-2 lebaran, rata-rata dia bisa beromzet hingga Rp 1 juta.

“Meski hasil itu nggak selalu tetap, tapi, ya, daripada di rumah,” terangnya, agak kurang jelas terdengar di telinga lantaran mengenakan masker.

Bermodal Sebilah Pisau

Pedagang datang bawa peralatan saja. Janurnya dipasok langsung di pasar oleh pedagang lain. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Para pedagang selongsong ketupat dadakan rata-rata datang ke pasar hanya membawa peralatan pribadi seperti sebilah pisau yang dipakai untuk membelah janur. Begitulah Laila bercerita.

Pedagang yang baru kali pertama berjualan selongsong ketupat karena diajak suami itu mengatakan, dirinya hanya bermodal sebilah pisau, sedangkan untuk janur yang merupakan bahan baku pembuatan selongsong, dipasok pedagang lain.

“Nah, saat datang baru kami saling membeli,” ujar Laila, yang juga menerangkan, setiap pedagang bisa mendapatkan satu tangkai yang berisi banyak janur dengan ongkos Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu. Harga itu, lanjurnya, bisa berubah tergantung kondisi janur dan tawar-menawar.

Selain dari janur atau daun kelapa yang masih muda, selongsong ketupat juga kadang memakai daun siwalan. Perbedaan kedua daun itu terletak pada warnanya setelah direbus. Janur akan berubah jadi cokelat, sedangkan daun siwalan, yang dinilai berkualitas lebih baik, menjadi putih setelah direbus.

Sempat Berjualan di Rumah

Ada dua jenis bahan baku selongsong ketupat, yakni dari daun kelapa dan siwalan. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Pandemi corona sempat membuat pedagang selongsong ketupat waswas, bisakah mereka berjualan seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa pedagang bahkan sudah memutuskan menggelar lapaknya di rumah.

Salah seorang di antara penjual yang sudah mulai berjualan di rumah adalah Siti Halimah. Lebih modern, dia juga mengaku sempat memasarkannya via media sosial.

Ditemui di Pasar Peterongan, Siti Halimah tampak tengah asyik menjalin dua lembar janur untuk dijadikan ketupat. Semula, lantaran takut dilarang petugas kalau berjualan di pasar, memutuskan berjualan di rumah.

“Tapi, ternyata kok boleh. Ya, sudah, saya jualan di sini,” akunya. Ada binar di mata perempuan tersebut.

Hm, sehat-sehat ya, Mbak! Dan, kepada seluruh pedagang selongsong ketupat dadakan di Semarang, . (Audrian F/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024