BerandaPasar Kreatif
Senin, 29 Mar 2020 12:00

Sejenak Mengusik Eksistensi Kompilasi Musik

Dua rekaman fisik kompilasi musik asal Bandung dan Semarang. (Inibaru.id/ Gregorius Manurung)

Kompilasi musik dirasa sudah nggak menguntungkan untuk diproduksi sekarang ini. Lalu, mengapa masih saja ada yang merilis kompilasi musik?

Inibaru.id – Seiring dengan perkembangan teknologi, publikasi dan distribusi rekaman juga ikut berkembang. Sekarang kamu lebih mudah mengakses musik melalui platform digital streaming, kan, Millens? Hal itu juga menyebabkan perubahan penjualan produk rekaman fisik, termasuk kompilasi.

Jika dulu kompilasi berguna sebagai penanda eksistensi skena, sekarang sudah agak bergeser. Dalam ranah industri, kompilasi juga sudah nggak lagi menjadi komoditi yang sepenuhnya menguntungkan untuk terus diproduksi. Musikus sekarang lebih mudah untuk mempublikasikan musiknya secara mandiri melalui platform digital. Itulah yang saya maksud dengan peran kompilasi menjadi agak bergeser.

Menurut Idhar Resmadi, jurnalis dan pengamat musik, membuat kompilasi bukan lagi sebatas menguatkan eksistensi skena, tetapi juga untuk mendokumentasikannya. Kompilasi seperti Masa Indah Sekali Banget Pisan (1997) dan Independent Rebel (1998) menjadi dokumentasi kelompok musik metal Ujung Beruang, juga kompilasi JKT:SKRG (2004) menjadi dokumentasi skena musik di BB’S Cafe di Jakarta.

Kompilasi <i>Bandung Essentials</i> yang mendokumentasikan musikus baru Bandung dijual sepaket dengan zine. (Inibaru.id/ Gregorius Manurung)

“Tujuannya lebih ke pendokumentasian skena, mulai dari genre, trend, dan band di sebuah skena,” ucap dosen Universitas Telkom itu melalui pesan rekaman suara, Jumat (27/3).

Karena nggak lagi menguntungkan secara industri, banyak label rekaman yang sekarang menyetop produksi kompilasi. Pada Maret 2020 ini, baru satu kompilasi yang dirilis dan terdeteksi radar saya, yaitu kompilasi musik-musik thrash metal dari Bandung, Primal Decay rilisan Grimloc Records.

Meskipun begitu, bukan berarti kompilasi sudah tamat. Selain melalui playlist yang dibuat perseorangan di platform digital, kompilasi fisik masih diproduksi. Hal itu dilakukan oleh label rekaman asal Semarang, Stoned Zombies, yang merilis kompilasi musik From the Muddy Banks of Kali-Grunge.

Kompilasi ini mengumpulkan musikus grunge Semarang lintas generasi dan merilisnya dalam bentuk kaset pita. Hasil penjualan kaset pita tersebut nantinya akan dijadikan modal untuk menyelenggarakan gig yang menampilkan para pengisi kompilasi ini.

Kompilasi <i>From the Muddy Banks of Kali-Grunge</i> dijual untuk mendanai kegiatan skena. (Inibaru.id/ Gregorius Manurung)

“Keuntungan dari penjualan niatnya kita bikinin gigs. Kalau masih sisa (niatnya) buat ngelanjutin kompilasi selanjutnya,” ucap Aga, salah seorang pengelola Stoned Zombies, melalui pesan singkat (22/3).

Kompilasi akhirnya menjadi komoditi yang mendukung komunitas atau skena, bukan menjadikan komunitas sebagai komoditi. Kaset pita kompilasi ini hanya dijual di Come Store, Jalan Pamularsih Barat VIII nomor 4.

“Begitu yang ngomongin banyak, tapi stok terbatas. Biar panic buying,” kelakar Aga.

Kamu tertarik bikin kompilasi nggak, Millens? (Gregorius Manurung/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024