BerandaPasar Kreatif
Minggu, 20 Feb 2021 08:30

Rasional di Tengah Pusaran 'Monkey Business' Tanaman Hias, Bisakah?

Gito sedang menunjukkan koleksi tanamannya yang sedang naik daun. (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Harga tanaman yang naik gila-gilaan tentu saja nggak wajar. Kendati kerap dianggap monkey business, nggak semua orang bertindak irasional dengan tetap menerapkan strategi bisnisnya sendiri. Gimana caranya?

Inibaru.id – Janda bolong bercorak putih atau variegata menjadi perbincangan publik lantaran belum lama ini dibeli orang dengan harga mencapai ratusan juta rupiah. Tiap daunnya bahkan pernah dibanderol setara sepeda motor anyar. Maka, bisa ditebak, orang-orang pun latah memburu tanaman bernama latin Monstera adansonii ini.

Hingga kini harga tanaman ini masih terbilang tinggi. Nggak hanya janda bolong, monstera lain seperti deliciosa, obliqula, dan borsigiana, juga dibanderol sangat mahal, apalagi kalau memiliki bercak putih (variegata). Namun, mungkinkah harga monstera bakal terjun bebas?

Monstera hanyalah satu dari beberapa tanaman hias yang belakangan juga mengalami kenaikan harga yang cukup irasional. Lantaran banyak yang mencari, harga tanaman jadi terlalu tinggi, bahkan sangat tinggi. Dalam dunia ekonomi, ini kerap disebut bubble economy.

Fenomena serupa pernah terjadi pada 1637. Kala itu, bunga Tulip dihargai sangat mahal di Eropa. Sementara di Indonesia, tanaman anturium atau yang lebih dikenal sebagai gelombang cinta pada awal 2000-an juga pernah mencapai harga yang fenomenal hingga setara sebuah mobil keluaran terbaru.

Kendati harganya tinggi, hanya segelintir orang yang menikmatinya, bahkan memanfaatkannya. Praktik ini acap disebut monkey business. Pada suatu titik, gelembung akan pecah, harga bakal jatuh, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya pun akan terjungkal.

Kisah ini tak ubahnya para petani anturium di Karanganyar, Jawa Tengah, yang sebelumnya sudah terlanjur membuat kebun botani di sekitar rumah. Bisnis tanaman hias itu tumbang, harganya terjun bebas, dan mereka terpaksa kembali ke pekerjaan semula.

Kini, nggak hanya monstera, tanaman hias macam sri rejeki (Aglonema) dan keladi (Caladium) juga turut naik pamor. Harganya pun terus melambung. Mungkinkah tanaman-tanaman itu menjadi "gelembung" baru yang bisa pecah kapan saja?

Nggak Semua Orang Kepincut

Mungkinkah para penjual juga terjebak bisnis nakal ini? (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Susi Purwati sudah menyukai tanaman hias sejak kecil. Hingga kini, hidupnya nggak bisa lepas dari kegiatan berkebun. Namun, dia enggan ikut serta dalam kegilaan monstera atau tanaman hias lainnya yang belakangan diburu orang.

Perihal tanaman, perempuan muda ini memang punya preferensi sendiri. Dia mengaku lebih menyukai tanaman bunga alih-alih tanaman berdaun molek seperti janda bolong, sri rejeki, atau keladi. Susi juga nggak tergiur dengan banyaknya tanaman hias berharga fantastis di pasaran.

"Jujur, aku nggak paham dengan harga tanaman (mahal) itu," tutur perempuan yang mengaku semenjak pandemi waktunya lebih banyak digunakan untuk merawat tanaman bunga dan palawija tersebut.

Setali tiga uang, Anisaur juga enggan membeli tanaman hias berbanderol selangit. Penyuka tanaman hias ini mengatakan, dirinya memilih tetap realistis dengan merawat tanaman yang cukup nyaman di kantong. Menurut dia, agak mahal nggak masalah, yang penting harus ada faedahnya.

“Dulu punya kalatea dan mawar," ungkap perempuan yang mengaku belum lama ini baru kehilangan banyak tanaman karena salah perawatan itu. "Ya, beli tanaman yang bermanfaat dan punya bentuk yang unik.”

Berkaca dari Susi dan Anisaur, harga yang rasional dan nilai yang sesuai agaknya bisa menjadi patokan agar kita nggak terjebak dalam putaran monkey business tanaman hias ini. Gimana dengan para penjual?

Monkey Bussines di Mata Penjual

Penjual bunga juga harus mampu merawat dan membudaidayakan sendiri. (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Meski tergolong monkey business, para penggila tanaman hias akan terus menyukai tanaman mereka mesti harganya merosot drastis. Hal inilah yang diyakini Trimo Sugito, penjual tanaman hias yang sudah menggeluti profesi ini selama belasan tahun.

Menurutnya, agar nggak terjebak dalam monkey business yang mungkin dapat menyebabkan kerugian, seorang penjual bunga umumnya harus cinta dengan tanaman terlebih dahulu.

“Kuncinya satu, kita senang dulu dengan tamanan! Apapun yang terjadi ya kita senang,” ungkap lelaki yang memulai usahanya sejak 2002 ini.

Jika seseorang sudah menyukai tanaman, imbuhnya, dia nggak akan kecewa, meski harganya turun. Namun begitu, dia punya strategi seandainya terjebak dalam pusaran "bisnis persepsi". Saat gelembung pecah dan harga terjun bebas, agar nggak merugi dia bakal memilih memperbanyak tanaman.

“Kalau nggak laku, kami perbanyak. Tambah lagi. Sabar. Ra payu rapapa (nggak laku nggak masalah)! ungkapnya membagikan resep yang membuatnya bertahan di usaha tersebut.

Harga Turun? Saatnya Memperbanyak!

Saat mengalami penurunan harga, saatnya menunggu dan memperbanyak tanaman. (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Gito, sapaan akrab Trimo Sugito, mengaku pernah mengalami kerugian lantaran aglonema yang dia beli dengan harga total Rp 6 juta mati semua. Namun, pengalaman pahit tersebut justru melecutnya untuk lebih semangat belajar merawat dan mengembangbiakkan tanaman.

Kecintaannya pada tanaman hias membawanya bertemu dengan aglonema pada 2014 yang terus dia rawat dan budidayakan sendiri. Beruntung, pada 2019 aglonema banyak diburu orang. Aglonema miliknya pun menjadi salah satu yang paling laku. Harganya dihitung per lembar daun dan tunasnya!

“Saya terkenal sampai sekarang dengan aglonemanya. Selama 2019-2020 aglonema naik. Harganya yang masih anakan mulai dari Rp 250 ribu–Rp 500 ribu,” ungkapnya, yang juga mengungkapkan kalau saat ini ketekunannya benar-benar membuahkan hasil.

Mengutip kata Gito, bisnis tanaman sebetulnya cuma rugi waktu. Kita beli, lalu perbanyak. Suatu saat bakal kembali modal. Yap, begitulah kalau orang menganggap bisnis tanaman sebagai investasi. Sejarah selalu berulang, pun demikian dengan tren.

Jika saat ini kita terjebak dalam bubble economy, gelembung itu meletus, lalu kita merugi, perbanyaklah gelembung. Mungkin bakal ada masa ketika gelembung itu terbentuk dan membumbung lagi. Namun, tetap saja ini merupakan spekulasi.

Namun, ada yang bilang, spekulasi ini cuma perkara waktu dan kesempatan. Kalau kita bertahan, mungkin akan ada saat-saat kita menikmati hasilnya. Ah, entahlah! (Zulfa Anisah/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024