BerandaKelirupedia
Jumat, 7 Des 2017 05:33

Jempol untuk Preman Zaman Old, Bogem untuk Preman Zaman Now

Kampung Preman di Yogyakarta. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Kata “preman” bergeser maknanya. Dulu, kata itu keren. Zaman now, kata itu membuat orang nggak nyaman.

Inibaru.id - Tahun Baru 2018 bakal diwarnai pemberantasan preman-preman. Bila pejabat polisi wilayah setempat tak mampu memberantas preman, Kapolri Jenderal Tito Karnavian akan mencopot polisi tersebut.

"Yang nggak bisa bersihkan (preman), ya saya copot," kata Tito di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/12/2017) seperti ditulis Detik.com.

Menurut Sang Kapolri, ada berbagai jenis preman. Ada copet, jambret, tukang todong, tukang bius, dan kriminal konvensional lainnya. Calo juga termasuk. Mereka menghuni berbagai tempat yang digunakan orang banyak.

"Itu perintah saya. Bersihkan pelabuhan, bandara, stasiun dari calo, kemudian dari copet, jambret, tukang todong, tukang bius, segala macam. Bersihkan," perintahnya.

Sampai di situ, Sobat Millens, jelas sudah bahwa sosok-sosok yang disebut preman oleh Pak Kapolri bukan sosok-sosok anutan melain sosok yang pantas diberantas.

Tentu saja nggak hanya Kapolri dan jajarannya yang berpendapat begitu. Sebagian besar kita pun mengamini pendapat itu: preman itu serbajelek, penyakit masyarakat yang hanya bikin onar dan kerap berhubungan dengan kriminalitas.

Mau bukti lagi? Cekidot pemberitaan Liputan6.com (1/12/2017) tentang kampung preman yang bakal dijadikan destinasi wisata.

Baca juga:
Polisi Zaman Old Tak Perlu Mengincar Bramacorah
Dulu Kau Tunggu Para Bajingan, Kini Kau Mengumpatinya

Ya, Dusun Ledok Tukangan di Yogyakarta, terkenal sebagai kampung preman. Dulunya nggak sembarang orang berani mendekati dusun bantaran Kali Code itu. Kenapa?

Tempat sangar itu menjadi sarang begal, kecu, rampok, copet, hingga residivis pembunuhan awal 2000-an.

"Dulunya kampung ini sudah terkenal di seluruh Yogyakarta, semua yang jelek-jelek ada di sini, dari maling, rampok, tukang bacok orang. Ada semua," kata warga Dusun Ledok, Deki Bagus Wahyu (38), Kamis, (30/11/2017).

Itu omongan orang kebanyakan, lo. Jadi, preman memang buruk. Tapi benarkah?

Mari kita cek ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V.

Preman [1]: 1. partikelir; swasta; 2. bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dan sebagainya); 3. Kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dan sebagainya).

Preman [2]: sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya).

Benarlah, kelompok makna kedua [2] untuk lema “preman” dalam kamus itu sarujuk dengan pendapat Pak Kapolri dan warga Dusun Ledok, plus sebagian besar kita.

Tapi sebenarnya, pada kelompok makna pertama [1], lema “preman” bersifat netral. Pegawai preman itu bukan pegawai pemerintah melainkan swasta alias partikelir; pakaian preman itu sebutan untuk pakaian biasa, bukan pakaian seragam atau pakaian dinas; kendaraan preman itu sebutan untuk kendaraan milik pribadi, bukan kendaraan dinas.

Tapi kenapa makna kedua yang negatif itu yang menang dalam benak hampir semua kalangan masyarakat ketika menyebut preman?

Pergeseran Makna: Pejoratif Kata “Preman”

Tahukah kamu bahwa dulu “preman” itu hanya punya satu makna dan konotasinya bagus banget.

Mari kita sedikit mundur ke zaman old, tepatnya ke masa kolonialisme Belanda.

Ya, ”preman” berasal dari ungkapan kata Belanda “vrij man” yang berarti orang merdeka, orang yang bebas. Orang Jawa mengatakannya “tiyang mardika”. Nggak sekadar merdeka, mereka adalah sosok-sosok anutan, ditakuti karena kekuatan fisiknya, dan para penolak kerja sama dengan Belanda.

Pada masa kolonialisme di bumi Nusantara ini, sosok yang melawan Belanda adalah sosok pujaan. Dia pahlawan. Mereka nggak pernah mau bekerja sama dengan Belanda, berapa pun mereka dibayar. Mengagumkan, bukan?

Lalu Indonesia merdeka dan Belanda hengkang. Orang-orang  yang nggak mau terikat dengan siapa pun itu lalu disewa orang-orang kaya. Sebagian menjadi centeng, dan sebagian lainnya bekerja kasar. Lambat laun ada di antara mereka yang menjadi tukang palak dan kriminal.

Baca juga:
Wong Berpakaian Seronok kok Dilarang?
Graha, Buaya yang Moncer sebagai Nama Perumahan

Seturut itu pula, sebutan “preman” yang bagus pudar sudah. Yang tersisa adalah konsep “preman” yang negatif artinya, hingga ke zaman now, ke masa milenial ini. Dalam ilmu kebahasaan, makna yang bergeser dari positif ke negatif disebut makna peyoratif. Itu kebalikan dari makna amelioratif, yaitu kata-kata yang dulunya bermakna negatif, kini bermakna positif. Contohnya kata “tunawisma” sebagai ganti gelandangan, “tunasusila” sebagai ganti pelacur, dan lain-lain. (Untuk yang ini kita bahas lain waktu, ya?)

Begitulah, kini bisa dipastikan nggak ada orang yang mau menyandang gelar “preman”. Nggak ada orang tua yang ingin anaknya jadi “preman”. Nggak ada calon mertua yang ingin bermenantukan “preman”.  

Pada zaman old semasa kolonialisme, mereka dipuja dan ditakuti untuk hal positif, dan diberi acungan jempol. Pada zaman now, mereka dihujat dan didoakan agar segera bertobat. Kalau nggak segera bertobat, dia harus siap berhadapan dengan perintah Pak Kapolri.  Ya, sang preman harus siap menerima bogem. (EBC/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: