Inibaru.id – Ritus “Ruwatan” menjadi satu di antara tradisi-tradisi kejawen yang masih dilestarikan hingga detik ini. Menjelang Satu Sura atau Tahun Baru Muharram biasanya menjadi waktu yang pas untuk meruwat banyak hal, misalnya gaman berupa keris atau tombak tertentu.
Tradisi ini begitu hidup di Tanah Jawa yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam. Sementara, sebagian penganut Islam menganggap tradisi ini mengada-ada dan tidak boleh dilakukan seorang muslim.
Hal ini menjadi rancu lantaran ruwatan juga menjadi “bagian” dari ritus agama Islam untuk sebagian umat Islam lainnya. Bagaimana selanjutnya?
Permasalahan tersebut menjadi perdebatan yang begitu pelik yang tak pernah menjumpai titik temu hingga saat ini. Di satu sisi, ruwatan sudah menjadi tradisi yang begitu mengakar dalam kurun waktu cukup lama di kalangan masyarakat Jawa.
Menghilangkan keyakinan ini tentu tidaklah mudah. Memusuhi penganut tradisi tersebut juga tentu tidaklah arif. Ada baiknya seseorang menelaah terlebih dahulu, apa yang menjadikannya baik dan apa yang tidak, sebelum memutuskan akan meninggalkan atau mengamalkannya.
Ruwatan berasal dari kata “ruwat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata itu bermakna pulih kembali sebagai keadaan semula. Ruwat juga bisa diartikan sebagai menjaga atau merawat. Sementara, ada pula yang menyebutkan, kata ini berasal dari istilah “ngaruati”, yang maksudnya adalah menjaga dari kecelakaan Dewa Batara.
Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritus pembuang sengkala (kesialan), baik kesialan diri (pribadi), lingkungan, atau masyarakat.
Ruwatan umumnya diselenggarakan secara besar-besaran dengan menanggap wayang kulit dengan cerita-cerita khusus seperti Baratayuda, Sudamala, dan Kunjarakarana. Orang yang meruwat pun harus seorang dalang khusus yang mempunyai kemampuan dalam bidang peruwatan.
Baca juga: Menilik Kesakralan Tradisi Malam Satu Sura
Akulturasi Keyakinan
Akulturasi keyakinan dilakukan para ulama agar agama Islam bisa masuk ke Tanah Jawa. Ajaran Islam pun dipadukan dengan budaya lokal yang begitu kental supaya tidak mengalami penolakan. Salah satu di antara perpaduan keyakinan itu adalah tradisi Satu Sura yang terjadi di bulan Muharram.
Menurut tradisi kejawen, Sura adalah bulan kesialan. Hajatan apa pun dilarang pada bulan ini. Lebih dari itu, acara ruwatan juga harus digelar pada bulan ini. Sementara, Islam justru menjadikan Muharram sebagai bulan baik lantaran ini merupakan bulan baru. Berbagai syukuran pun dilakukan.
Nah, di sinilah akulturasi keyakinan itu diinisiasi para ulama terdahulu. Esensi meminta keselamatan kepada yang Mahakuasa menjadi benang merah dari dua keyakinan berbeda tersebut. Ritus Ruwatan pun menjadi jauh lebih “islami” berkat akulturasi tersebut.
Doa akhir dan awal tahun menyatu bersama ritual simbolis seperti penyucian diri dengan air yang diberi doa-doa para ulama. Ruwatan pun menjadi akulturasi keyakinan yang apik hingga sekarang. (GIL)