Inibaru.id - Sejarah tak pernah lahir dari ruang rapat yang tenang. Ia meledak saat seseorang melompat ke gelap tanpa peta, dipanggil oleh keyakinan yang belum teruji.
Yang waras terlalu sering tunduk pada tata tertib. Tapi sejarah — ia dibuat oleh yang sinting.
Kita perlu membedakan: sinting bukan kehilangan nalar. Bukan edan yang kalap. Sinting adalah keberanian menolak kenyamanan. Sinting adalah akal sehat yang tak mau tunduk pada kompromi. Ia tak sembarangan, tapi juga tak minta izin.
Yang edan menghancurkan tanpa arah. Yang sinting mengganggu demi arah.
Albert Berry, 1912, naik pesawat dan melompat dengan parasut yang belum pernah terbukti bisa menyelamatkan nyawa. Ia jatuh bebas 152 meter sebelum kain itu terbuka. Kalau gagal? Mati. Dari satu lompatan sinting itu, manusia belajar turun dari langit.
Langit terbuka, kepastian tidak. Ia melompat, maut mengintai sebelum akal manusia sempat mengejarnya.
Charles Darwin, abad ke-19, menolak jadi dokter seperti kehendak ayahnya. Ia lebih tertarik mengumpulkan kumbang. Lima tahun ia berlayar di kapal Beagle, mengamati pipit dan kura-kura di Galapagos.
Ia tak menemukan emas. Ia menemukan pola kehidupan — dan mengubah sains selamanya.
Vincent van Gogh, dalam amarah dan keputusasaan, mengiris telinganya sendiri. Dari tangan yang terluka itu, lahir Starry Night — lukisan yang tak pernah tidur.
Ia tak melukis bintang. Ia merobek langit dan menaruh lukanya di sana.
Affandi, di usia senja, tahu pikiran dan inspirasinya tak bisa menunggu tangannya. Ia lempar kuas. Celupkan jari ke cat. Warna dan bentuk diledakkan di kanvas lewat teknik pelototan.
Ia tak melukis untuk menyenangkan mata. Ia menumpahkan imajinasi sebelum inspirasi kabur.
Menggerakkan Perubahan
George Bernard Shaw pernah berkata: “Orang waras menyesuaikan diri pada dunia. Orang sinting mencoba menyesuaikan dunia kepadanya. Maka semua kemajuan bergantung pada orang sinting.”
Mungkin itu masalah kita hari ini: terlalu banyak yang waras dan kalem. Terlalu sedikit yang cukup sinting untuk mencipta, menabrak, menyulut jalan baru.
Karena diam, tak gelisah, sudah terlalu lama jadi budaya.
Bangsa ini kekurangan orang yang cukup sinting untuk mengguncang ketika kebanyakan memilih aman dan nyaman.
