BerandaInspirasi Indonesia
Senin, 7 Mar 2021 10:00

Mendengar Cerita Suka-Duka Merintis Komunitas Parkour di Kota Semarang

Fly To Sky sedang berlatih di Gor Tri Lomba Juang. (Inibaru.id/ Audrian F)

Pendiri komunitas parkour Semarang Fly To Sky punya kisah unik saat merintis komunitasnya. Berada di tahun-tahun yang belum terfasilitasinya arus informasi membuat mereka bekerja lebih keras untuk belajar parkour. Namun semua kerja keras itu sebanding dengan hasil.<br>

Inibaru.id - Merintis memang bukanlah hal yang mudah, termasuk merintis komunitas parkour. Kalau sekarang mungkin berbagai rujukan dan referensi sudah banyak tersedia. Lalu bagaimana jadinya pada 15 tahun silam?

Itulah yang diceritakan oleh Alam Sang Saka sebagai pendiri komunitas parkour Semarang “Fly To Sky”. Sebelumnya, Saka bersama rekan-rekannya sudah lebih dulu aktif di breakdance. Namun pada suatu hari, dia melihat sebuah film parkour dari Jepang berjudul Yamakasi.

“Waktu itu kami terpukau dengan film itu sampai mau melakukan sendiri,” ujar Saka saat dihubungi lewat pesan pendek, Rabu (3/3/2021)

Keinginan nggak sekadar keinginan. Saka dan teman-temannya benar-benar mewujudkannya. Alhasil dengan pengetahuan seadanya dia mencoba-coba sendiri gerakan parkour.

Nah, ada yang unik di sini, Millens. Jadi kala itu referensi belum seperti sekarang. Internet pun belumlah masif. Kalau ada pun hanya ada di warung internet.

Kebetulan Saka ini dulu sempat punya profesi sebagai penjaga warnet. Memanfaatkan profesi Saka, teman-temannya jadi sering nongkrong di warnet karena hendak mencari referensi soal parkour.

“Dulu itu rame-rame mengerubungi bilik warnet karena mau lihat video parkour,” ungkap Saka yang juga aktif di komunitas breakdance.

Selain upaya keras untuk mencari referensi, suka-duka lain dalam merintis parkour adalah soal resiko cedera. Dikarenakan masih menjadi yang pertama, nggak ada mentor yang benar-benar ahli. Akibatnya, cidera demi cidera pun didapat.

“Ya banyak juga teman-teman yang cidera. Bahkan sampai patah tulang,” tambah Saka.

Para anggota Fly To Sky. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Ada hikmah di balik musibah. Begitulah Saka dan teman-teman memaknai cidera yang diderita. Mereka nggak kapok dan tetap melanjutkan kegiatan ini sampai sekarang. Justru dengan cidera yang sempat mereka alami, bisa menjadi catatan untuk generasi parkour Semarang selanjutnya.

Menjadi bagian dari komunitas parkour, tentu nggak lengkap tanpa ikut turnamen. Itulah yang diupayakan Ferdin yang juga perintis Fly To Sky. Dia pengin mengenalkan komunitasnya ke seluruh penjuru negeri.

Akhirnya, kesempatan itu tiba. Pada 2011, turnamen parkour digelar untuk kali pertama di Indonesia dengan tajuk “Indo Freerun Championship”.

“Waktu itu kami harus banget berangkat. Kami ingin nama Fly To Sky lebih dikenal orang,” ungkapnya.

Kerja keras para pendiri Fly To Sky di masa lalu punya hasil sebanding di masa kini. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Meski parkour bukan hal baru, namun turnamennya diadakan belakangan. Hal itu karena pada awalnya para pegiat parkour beranggapan jika olahraga ini bukan untuk diadu. Namun, pemikiran itu berubah.

Semenjak itu, Ferdin terus berdedikasi pada parkour dan Fly To Sky. Meski pernah cidera, langkahnya nggak berhenti.

“Sampai sekarang sudah tua begini masih suka ikut kumpul dan parkour. Tapi ya tipis-tipis lah nggak bisa kayak dulu,” tambahnya.

Kerja keras mereka untuk merintis Fly To Sky tampaknya nggak sia-sia. Seiring waktu berjalan, komunitas ini dikenal di seluruh Indonesia. Mereka sempat kebanjiran tawaran untuk perform pada event-event tertentu. Popularitas mereka pernah naik dan banyak anggota.

Namun, nggak ada masa jaya yang selama-lamanya. Satu persatu para anggota melepaskan diri. Nama Fly to Sky juga jarang terdengar gaungnya. Meski kini nggak semoncer dulu, Fly To Sky masih terus berkegiatan. Kalau kamu penasaran dengan komunitas ini, datang saja ke Tri Lomba Juang. Para anggota asyik-asyik, lo. (Audrian F/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: