BerandaInspirasi Indonesia
Rabu, 10 Mar 2020 10:00

Bring No Clan, Wadah Buat Para Penggiat Grafiti di Kota Semarang

Satrio Sudibyo, penggerak Bring No Clan. (Inibaru.id/ Audrian F)

Bring No Clan dibentuk pada 2011. Wadah ini bertujuan untuk menyatukan para penggambar grafiti di Kota Semarang yang saat itu egoisme sektoralnya cukup tinggi. <br>

Inibaru.id - Kalau kamu sering jalan-jalan menyusuri berbagai penjuru Kota Semarang pasti nggak akan melewatkan berbagai corat-coret tulisan di berbagai dinding. Namun bukan sekadar corat-coret ya, namun lebih bisa dibilang sebagai sebuah seni tulisan. Seni ini bisa disebut juga dengan grafiti.

Nah di Kota Semarang, penggiat grafiti memiliki wadah yang bernama Bring No Clan. Satrio Sudibyo, selaku penggiat mengungkapkan kalau dia lebih nyaman jika menyebut Bring No Clan sebagai wadah alih-alih komunitas. Sebab pada dasarnya memang dibentuk untuk mewadahi para penggambar grafiti di Kota Semarang.

“Bring No Clan untuk kumpul bersama saling sharing dan menyelesaikan masalah secara bersama jika terdapat masalah,” ucap pria yang akrab disapa Dibyo saat ditemui di toko Grafiti Drips and Drops pada Kamis (27/2).

Bring No Clan, mewadahi pegiat grafiti di Kota Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)

Bring No Clan dibentuk pada 2011 di rumah Komunitas Hysteria yakni di Grobak Art Kos Jalan Stonen 29, Gajah Mungkur, Kota Semarang. Awal mulanya Bring No Clan dibentuk karena dipicu oleh nggak harmonisnya hubungan antarpenggiat grafiti di Kota Semarang.

Menurut Dibyo, grafiti sebetulnya adalah budaya barat. Di sana, penggambar grafiti tumbuh dari lingkungan keras dan memiliki kelompok atau bisa disebut juga gangster. Namun dia langsung meluruskan kalau pada kenyataannya hidup mereka berada di Indonesia. Jadi harus disesuaikan dengan budaya yang ada di sini.

Karena itulah, Bring No Clan berusaha menghapus semua sekat; entah itu senior-junior, kemampuan menggambar atau primordialisme kelompok. "Kami harus bersatu atas nama Kota Semarang,” jelasnya.

Neyra Ardhi Affandi dari kelompok grafiti 12PM. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Pernyataan serupa datang dari Neyra Ardhi Affandi saat ditemui di toko grafitinya, Reload, pada Kamis (6/3). Dia adalah salah seorang penggambar grafiti di 12 PM.

Cita-citanya sama, yakni membesarkan nama grafiti Semarang. "Sebetulnya kami tidak kalah seperti kota-kota yang identik dengan grafitinya, seperti Jogja atau Bandung. Cuma ya karena itu kami belum bersatu,” ujarnya.

Semenjak dibentuk sebetulnya Bring No Clan memiliki sejumlah agenda. Seperti menggambar bersama atau edukasi grafiti ke masyarakat umum. Namun lambat laun kegiatan tersebut nggak bisa konsisten. Salah satu penyebabnya adalah tentu dari ketiadaan fasilitas. Alhasil, para tukang gambar ini melaksanakan lebih banyak kegiatan menggambar secara individu, bukan komunal.

Halangan ini juga disadari oleh Dibyo. Baginya grafiti berbeda dari seni lain. "Medianya tembok. Kalau dikerjakan secara komunal pun harus ada tembok yang panjang. Dan kalaupun mau nyari juga nggak gampang," kata Dibyo. Dia juga prihatin karena adanya anggapan kalau grafiti itu sekadar corat-coret tembok atau yang lebih mengerikan, dianggap aksi kriminal.

Menemukan tembok yang panjang untuk menggambar bersama bukanlah sesuatu yang mudah. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Meskipun begitu, Dibyo nggak menutup pintu bagi siapa pun yang ingin bergabung dan mengenal grafiti. Secara pribadi dia ingin grafiti lebih diterima masyarakat luas.

“Saya selalu terbuka kalau ada yang mau ngobrol-ngobrol dan coba menggambar. Tapi kuncinya harus benar-benar serius dan nggak gampang bosan,” tandasnya.

Kamu tertarik menggambar grafiti nggak, Millens? (Audrian F/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024