BerandaIndie Mania
Kamis, 31 Jul 2019 13:00

Menyoal Sastra di Semarang, Sastrawan; Kabarnya Baik-baik Saja

Diskusi mengenai kondisi sastra di Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)

Sastra di Semarang menurut beberapa kalangan suaranya meredup. Namun ada yang berkata juga kalau kondisi sastra Semarang memang dari dulu begitu atau memang seperti itu kapasitasnya. Lalu bagaimana kondisi yang sebenarnya? Mari simak selengkapnya.

Inibaru.id - Konon Semarang dikenal sebagai kuburan seni. Di Kota Atlas ini seni katanya nggak bisa berkembang dengan baik. Atau jika pun berkembang letupannya nggak begitu menyala. Pun senasib dengan dunia sastranya.

Meskipun Kota Semarang melahirkan banyak nama Sastrawan tenar seperti Yusi Avianto Pareanom, Triyanto Triwikromo, Nh. Dini, Martin Suryajaya, dan As Laksana, namun dinamika di sastra Kota Semarang ini nggak "sesubur" nama besar tersebut.

Karena itu pada acara “Semarang Literary Trinelle” yang dilaksanakan di Taman Srigunting dan gedung Oudetrap pada Sabtu (27/7) malam, timbul sebuah diskusi yang bertajuk, “Sastra Semarang Piye Kabare?”. Dalam acara tersebut pembicara yang dirasa sudah mengenal Sastra Semarang dihadirkan. Mereka semua antara lain Sulis Bambang, Handry TM, Heri CS, dan Ahmad Khaerudin.

Ditanyai tentang bagaimana gambaran wajah sastra Semarang, Heri CS dan Sulis Bambang berkata kalau baik-baik saja. Sebab mereka juga nggak berhenti menggerakkan budaya literasi dengan kelompok sastranya sendiri. Sulis Bambang dengan Bengkel Sastranya dan Heri Cs dengan Komunitas Lereng Medini-nya.

“Komunitas saya selalu aktif bergerak. Bahkan setiap tahun menerbitkan minimal satu buku,” aku Sulis Bambang.

Para peserta tampak takzim mendengar pembicara menyampaiakn materi soal sastra Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)

Sementara menurut Handry TM, sastra di Kota Semarang ini sejak dari dulu memang seperti ini gambarannya. Sebetulnya nggak sepi-sepi amat. Banyak juga aktivitas dan komuitas sastra, namun secara mengelompok di rumah masing-masing.

“Dari saya muda memang seperti ini. Enggak terlalu top tapi juga nggak mati. Kelompok-kelompoknya nggak pernah bersatu tapi bisa jalan terus,” ujar Hadry TM yang kebetulan juga ketua Dewan Kesenian Kota Semarang (Dekase).

Argumen kontra timbul dari Ahmad Khaerudin. Pegiat seni di Kota Semarang itu menyebut kalau kurangnya kesadaran dari pegiat sastra untuk saling bahu membahu dalam memajukan sastra Semarang.

“Contoh kecil waktu saya masih menjadi anggota Dekase dulu. Bahkan buat mengumpulkan orang untuk koordinasi acara saja susah. Dari hal-hal seperti itulah saya kira yang bikin sastra Semarang ini nggak kunjung maju,” tukas Khaerudin.

Setelah segala tanggapan dari pembicara itu semua, esais Kota Semarang, Widyanuari Eko Putra, yang kebetulan hadir memeberi tanggapan. Menurutnya, sastra Semarang untuk saat ini menunjukan kemajuan pesat. Baik dari segi komunitas, penerbitan, hingga produktivitas menulis. Cuma bedanya sekarang ini interaksinya sudah berubah, nggak harus ketemu karena sudah lewat kanal dunia digital.

“Perkaranya sekarang memang, para pegiat sastra di Kota Semarang ini hubungan relasinya lewat sosial media atau website. Mereka produktif di kanal itu dan saling menilai juga di kanal itu. Untuk produktivitas penulis pun juga banyak yang menerbitkan buku. Komunitas pun juga aktif di daerah masing-masing. Jadi saya menganggap kalau sastra Semarang sejauh ini, baik-baik saja,” pungkas Widyanuari.

Mengambil kesimpulan dari semua diskusi ini, Heri Cs mengatakan kalau perlunya kesadaran bagi setiap pegiat sastra di kota ini. Meskipun sudah aktif di daerah masing-masing tapi nggak ada salahnya untuk berkumpul jadi satu.

“Jadi pada intinya, semua sudah aktif di rumah-masing. Nah, oleh karenanya, mari kita saling bersinergi. Sesekali saling berkumpul agar sastra Semarang ini nggak dikatakan redup,” tutup Heri.

Jadi seperti itulah gambaran sastra Semarang ya, Millens. Ternyata para pegiat ini aktif di daerah masing-masing dan cara berhubungannya pun sudah berubah melalui dunia digital. Jadi kalau ditanya Sastra Semarang piye kabare? Baik-baik saja kok. (Audrian F/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024

Sepenting Apa AI dan Coding hingga Dijadikan Mata Pelajaran di SD dan SMP?

12 Nov 2024

Berkunjung ke Dukuh Kalitekuk, Sentra Penghasil Kerupuk Tayamum

12 Nov 2024

WNI hendak Jual Ginjal; Risiko Kesehatan Apa yang Bisa Terjadi?

13 Nov 2024

Nggak Bikin Mabuk, Kok Namanya Es Teler?

13 Nov 2024

Kompetisi Mirip Nicholas Saputra akan Digelar di GBK

13 Nov 2024

Duh, Orang Indonesia Ketergantungan Bansos

13 Nov 2024

Mengapa Aparat Hukum yang Paham Aturan Justru Melanggar dan Main Hakim Sendiri?

13 Nov 2024