BerandaHits
Senin, 25 Okt 2020 14:00

Penguasa Mataram Kuno Hanya Sailendra, Benarkah Wangsa Sanjaya Nggak Pernah Ada?

Candi Prambanan selama ini dikenal sebagai salah satu peninggalan Wangsa Sanjaya. (Freepik)

Bertahun-tahun kita diberitahu bahwa ada dua dinasti paling berkuasa di Jawa, yaitu Wangsa Sanjaya dan Sailendra. Namun, ada yang menjanggahnya dengan mengatakan hanya ada satu wangsa, yakni Sailendra.

Inibaru.id – Dalam pelajaran Sejarah, tentunya kita pernah mendengar Wangsa (Dinasti) Sanjaya dan Sailendra. Wangsa Sanjaya memeluk Hindu Siwa, sedangkan Wangsa Sailendra memeluk Buddha Mahayana.

Candi Prambanan di perbatasan Klaten dan Yogyakarta selama ini dikenal sebagai salah satu peninggalan terpenting Wangsa Sanjaya. Sementara, Candi Borobudur di Magelang dianggap sebagai warisan Wangsa Sailendra yang paling terkenal dan utama.

Informasi keberadaan dua dinasti Jawa itu diawali oleh teori yang dikembangkan para ahli asing pada masa penjajahan Belanda. Beberapa orang yang melakukan penelitian ini adalah FH van Naerssen, Bosch, George Coedes, WF Stutterheim, serta JG de Casparis.

Dasar teori yang dipakai terutama oleh Stutterheim adalah isi prasasti Mantyasih (Balitung). Prasasti ini bertarikh 907, ditemukan di daerah Magelang, berisikan nama-nama raja Mataram sebelum Raja Balitung. Kemudian, Stutterheim menganggap prasasti Balitung berisikan silsilah Wangsa Sanjaya.

Pernah Dikoreksi Tapi Diabaikan

Prasasti Mantyasih yang menurut ahli dari Belanda memuat silsilah Wangsa Sanjaya. (Oombe.blogspot)

Pengetahuan itu sudah kadung diajarkan selama puluhan tahun di bangku sekolah. Padahal, sebenarnya hal itu nggak benar. Kekeliruan ini bahkan sudah pernah dikoreksi oleh ahli dari Indonesia seperti Poerbatjaraka dan Boechari sejak 1950-an. Mereka menulis bahwa wangsa yang menjadi penguasa Jawa pada masa sejarah klasik hanya satu. Sayangnya, koreksi ini kurang didengar.

Dalam satu makalah, Boechari menulis, “Kalau kita bicara tentang adanya satu atau lebih dinasti yang berkuasa di Mataram, maka yang dimaksud ialah ‘yang berkuasa sebagai maharaja’,” tulis Boechari.

Menurut ahli epigrafi ini, pada masa Mataram Kuno terdapat banyak raja kecil sebagai penguasa lokal di Jawa. Masing-masing memiliki silsilah. Karena itu, Boechari berpendapat, isi prasasti Mantyasih bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya.

Poerbatjaraka dan Boechari sama-sama berpendapat bahwa penguasa Jawa pada masa klasik hanyalah Wangsa Sailendra. Rakai Sanjaya pun sebenarnya termasuk Wangsa Sailendra meski memeluk agama Hindu. Untuk membuktikannya, beberapa prasasti diajukan oleh ahli-ahli ini.

“Sejarah memang perlu dikoreksi,” ucap ahli arkeologi Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional. “Karena sebenarnya istilah Wangsa Sanjaya itu tidak pernah disebutkan dalam prasasti mana pun. Yang disebutkan berkali-kali hanyalah Wangsa Sailendra,” tegasnya.

Kalau kamu tertarik mengetahui bagaimana sebenarnya asal mula Sailendra sebagai satu-satunya dinasti penguasa Jawa pada masa klasik, kamu bisa membacanya di majalah National Geographic pada edisi Desember 2013.

Di dalamnya juga dijelaskan mengenai keterkaitan keluarga ini dengan kerajaan Sriwijaya. Semua tertuang dalam kisah mengenai Sriwijaya. Penjelasan ini diberikan oleh para ahli Indonesia masa silam hingga sekarang, mulai dari Poerbatjaraka, Boechari, hingga Bambang Budi Utomo.

Namun, salah satu bukti bahwa dinasti penguasa Jawa hanya ada satu, yaitu Sailendra, sekarang sudah raib. Wah, sayang banget ya, Millens! (Nat/IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Asal Nama Kecamatan Wedi di Klaten, Terkait dengan Pasir atau Rasa Takut?

18 Nov 2024

MOGO, Tempat Aman Berbagi Cerita bagi Para Korban PHK

18 Nov 2024

Kisah Sebuah Desa Di Jepang yang Merayakan Kelahiran Bayi untuk Kali Pertama dalam 52 Tahun

18 Nov 2024

Mengapa Banyak Anak Muda Memilih Perjanjian Pranikah?

18 Nov 2024

Latar Jembar, Upaya Seniman Demak Kenalkan Kembali Dolanan Anak

18 Nov 2024

Bangga, 30 Budaya Jawa Tengah Raih Status Warisan Budaya Takbenda Indonesia

18 Nov 2024

Polda Jateng Grebek Tambang Ilegal di Klaten, Modusnya Konsumen Datang ke Lokasi

19 Nov 2024

Dua Sisi Fenomena Ulat Pohon Jati di Gunungkidul, Ditakuti Sekaligus Dinanti

19 Nov 2024

Menguak Sejarah Penggunaan Karpet Merah untuk Acara Penyambutan Resmi

19 Nov 2024

Dua Desa Indonesia Dinobatkan Jadi Desa Wisata Terbaik di Dunia 2024

19 Nov 2024

Sapa Masyarakat Jepara, Lestari Moerdijat Bahas Demokrasi dan Ratu Kalinyamat

19 Nov 2024

Pneumonia Masih Menjadi 'Pembunuh Senyap' bagi Anak-Anak

19 Nov 2024

Baru Kali Ini, Indonesia akan Gelar Pilkada Langsung Serentak

19 Nov 2024

Ugly Fruits dan Potensi Tersembunyi di Balik Buah Berpenampilan 'Jelek'

19 Nov 2024

Begini Dampak PPN 12 Persen yang Bakal Berlaku 2025

19 Nov 2024

Lestari Moerdijat: Aspirasi Masyarakat adalah Bahan Bakar untuk Kebijakan yang Inklusif

19 Nov 2024

Mencicipi Rasa Legendaris yang Disajikan di Warung Mi Lethek Mbah Jumal

20 Nov 2024

Nggak Ada Perayaan Tahun Baru di Shibuya, Tokyo, Jepang

20 Nov 2024

Petani Milenial, Berhasilkah Bikin Anak Muda Berkarier Jadi Petani?

20 Nov 2024

Mau Pertama atau Berkali-kali, Pengalaman Nonton Timnas Indonesia di GBK Membekas Abadi

20 Nov 2024