Inibaru.id - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Sukarno, Suharto, dan Gus Dur dari Ketetapan (Tap) MPR. Terkait hal tersebut, MPR juga mengusulkan agar ketiganya diberikan gelar pahlawan nasional.
Khusus untuk Suharto, pencabutan namanya mengundang reaksi banyak pihak. Sebab, MPR dinilai nggak mempertimbangkan aspek historis lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Suharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang banyak disertai dengan dosa kejahatan HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Buat yang belum tahu, Tap MPR tentang Suharto yang dicabut adalah Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, yang menekankan pentingnya pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia".
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang juga merupakan anggota Partai Golkar menjelaskan bahwa pencabutan ini merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Keputusan ini kemudian diambil dalam Rapat Pimpinan MPR yang diadakan bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September 2024. Dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, disepakati bahwa penyebutan nama Suharto dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 kini dianggap selesai, mengingat yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Nah, dari hal itu, banyak yang menilai MPR melakukan hal yang membuat mundur demokrasi di Indonesia. Pada era reformasi sekarang ini, seharusnya pemerintah mendukung pengadilan bagi Suharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bukannya mengaburkan tanggung jawab dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan.
Kepentingan Politik
Lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Transparency International Indonesia (TII) menyatakan dalam laman antikorupsi bahwa pencabutan nama Suharto dari TAP MPR jelas memiliki nuansa politik yang menguntungkan kelompok tertentu.
Pertama, presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Cendana. Dikhawatirkan penghapusan nama Suharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan yang dimiliki oleh Prabowo untuk sebisa mungkin memperbaiki citra dirinya dan andil keluarga Cendana atas kontribusi keduanya terhadap sejarah kelam Orde Baru sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang.
Pihak kedua yang diuntungkan tentu saja keluarga Cendana. Semasa hidup, Suharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpinnya dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta kroni Cendana dengan total setidaknya Rp4 triliun.
Namun hingga hari ini, Pemerintah belum sepenuhnya melakukan eksekusi terhadap aset milik Yayasan Supersemar. Padahal, Yayasan Supersemar hanyalah 1 dari 7 yayasan yang seharusnya dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah apabila serius memberantas korupsi.
Ya, terlalu banyak masyarakat yang belum bisa melupakan dan memaafkan kesalahan presiden kedua Indonesia ini ya, Millens. Pencabutan nama Suharto dari Tap MPR tentu menjadi tanda bahwa negara absen dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM di zaman itu. Tanpa adanya pengakuan dan pertanggungjawaban, sejarah kelam dapat terulang kembali, merugikan generasi mendatang yang berhak atas keadilan dan kebenaran. (Siti Khatijah/E07)